Albumku Shorcourse

Albumku Shorcourse
Habis "DIBANTAI" dalam Presentasi hasil hampir 24 jam

Total Tayangan Halaman

Senin, 16 Februari 2009

Teori Hermenutika Nasr Hamid

Nasr Hamid Abu Zayd dan Teori Hermeneutika al-Qur’an
1. Mukaddimah
Hermeneutika, yang meminjam perkataan Inggris hermeneutics, dan yang juga berasal dari perkataan Greek hermeneutikos bukan merupakan suatu istilah netral yang tidak bermuatan pandangan hidup (world-view; weltanschauung). Apabila perkataan ini dikaitkan dengan al- Qur'an, ataupun dengan Biblical Studies, arti hermeneutika telah berubah dari pengertian bahasa semata menjadi istilah yang memiliki makna tersendiri. Oleh sebab itu, sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai hermeneutika al-Qur'an, lebih baik kita bahas dahulu perbedaan arti bahasa (linguistic meaning) dan arti istilah (technical meaning) hermeneutika itu sendiri. Dari segi bahasa misalnya Aristotle pernah menggunakan perkataan itu untuk judul karyanya Peri Hermeneias yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Latin sebagai De Interpretatione yang lantas dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai On the Interpretation.
Namun, jauh sebelum terjemahan dalam bahasa Latin, al-Farabi (w. 339/950), seorang ahli filsafat Muslim terkemuka, telah menerjemahkan dan memberi komentar karya Aristotle itu terlebih dahulu ke dalam bahasa Arab dengan judul Fi al-'Ibarah.
Aristotle sendiri ketika menggunakan perkataan hermeneias tidak bermaksud mengemukakan arti istilah seperti yang berkembang di zaman modern kini. Hermeneias yang dia kemukakan, menyusuli karyanya Kategoriai, sekedar membahas peranan ungkapan dalam memahami pemikiran, dan juga pembahasan tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda (noun), kata kerja (verb), kalimat (sentence), ungkapan (proposition), dan lain-lain yang berkait dengan tata bahasa. Ketika Aristotle membicarakan hermeneias, dia tidak mempermasalahkan teks atau membuat kritikan terhadap teks. Jadi topik yang dibahas oleh Aristotle adalah mengenai bidang interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan itu. Dari segi bahasa, al-Farabi sangat tepat mengalihbahasakan hermeneuias sebagai 'ibarah yang memberi konotasi ungkapan bahasa dalam menunjukkan makna-makna tertentu. Begitulah pengertian hermeneutika yang pada asalnya hanya merujuk kepada makna bahasanya semata.
Perpindahan makna hermeneutika dari pengertian bahasa kepada pengetian istilah merupakan satu perkembangan kemudian. Sumber-sumber perkamusan sepakat bahwa peralihan makna istilah itu dimulai dari usaha para ahli teologi Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang secara kritis teks-teks dalam kitab suci mereka. Sebuah kamus filsafat, misalnya, menyatakan:
Hermeneutics. . . .Originally concerned more narrowly with interpreting sacred texts, the term acquired a much broader significance in its historical development and finally became a philosophical position in twentieth century German philosophy.
Sebuah thesis Ph.D. mengenai hermeneutika juga menyatakan hal itu:
Originally, the term 'Hermeneutics' was employed in reference to the field of study concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis. During the early years of the nineteenth century, 'Hermeneutics' became 'General Hermeneutics' at the hands of philosopher and Protestant theologian Friedrich Schleiermacher. Schleiermacher transformed Hermeneutics into a philosophical field of study by elevating it from the confines of narrow specialization as a theological field to the higher ground of general philosophical concerns about language and its understanding.
Jadi istilah 'hermeneutika' kemudian telah beralih makna dari sekedar makna bahasa, menjadi makna teologi, dan kini menjadi makna filsafat. Menarik untuk menelusuri sedikit latar belakang mengapa hermeneutika digunakan oleh para teolog Yahudi dan Kristen untuk memahami teks-teks Bible. Encyclopaedia Britannica menyatakan dengan jelas bahwa tujuan utama hermeneutika adalah untuk mencari "nilai kebenaran Bible."
For both Jews and Christians throughout their histories, the primary purpose of hermeneutics, and of the exegetical methods employed in interpretation, has been to discover the truths and values of the Bible.
Mengapa dengan hermeneutika itu para teolog tersebut bertujuan mencari nilai kebenaran Bible? Jawabannya adalah karena mereka memiliki sejumlah masalah dengan teks-teks kitab suci mereka. Mereka mempertanyakan apakah secara harfiah Bible itu bisa dianggap Kalam Tuhan atau perkataan manusia. Aliran yang meyakini bahwa lafaz Bible itu Kalam Tuhan mendapat kritikan keras dan dianggap ekstrim dalam memahami Bible. Encyclopaedia Britannica menyatakan lagi:
Literal interpretation asserts that a biblical text is to be interpreted according to the "plain meaning" conveyed by its grammatical construction and historical context. The literal meaning is held to correspond to the intention of the authors. This type of hermeneutics is often, but not necessarily, associated with belief in the verbal inspiration of the Bible, according to which the individual words of the divine message were divinely chosen. Extreme forms of this view are criticized on the ground that they do not account adequately for the evident individuality of style and vocabulary found in the various biblical authors.
Perhatikan frasa terakhir yang berbunyi "individuality of style and vocabulary found in the various biblical authors" (gaya dan kosakata masing-masing yang ditemukan pada berbagai pengarang mengenai Bible). Adanya perbedaan pengarang itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan Kalam Tuhan (the Word of God) secara harfiah (literal). Oleh sebab itu para teolog Kristen memerlukan hermeneutika untuk memahami Kalam Tuhan yang sebenarnya. Mereka hampir sepakat bahwa Bible secara harfiahnya bukan Kalam Tuhan. Oleh sebab itu mereka merasa perlu untuk membaca Bible "between the line" demi memahami firman Tuhan yang sebenarnya. Disinilah peranan hermeneutika dalam membantu memahami Bible bagi para teolog Kristen.
Keadaan itu berbeda dengan kaum Muslimin, yang bisa memahami Kalam Tuhan dari al- Qur'an baik "on the line" atau pun "between the line." Kaum Muslimin sepakat bahwa al- Qur'an itu adalah Kalam Allah yang ditanzilkan kepada Rasulullah Muhammad (s.a.w.). Kaum Muslimin juga sepakat bahwa secara harfiah al-Qur'an itu dari Allah. Juga, kaum Muslimin sepakat, membaca al-Qur'an secara harfiah adalah ibadah dan diberi pahala; menolak bacaan harfiahnya adalah kesalahan; membacanya secara harfiah dalam salat adalah syarat, dan memahami al-Qur'an secara harfiah juga dibenarkan, sementara terjemahan harfiah dan alihbahasanya tidak dikatakan sebagai al-Qur'an. Ibnu Abbas misalnya pernah menyatakan bahwa diantara pemahaman al-Qur'an itu adalah sejenis tafsir yang semua orang dapat memahaminya (la ya'dziru ahad fi fahmihi). Pemahaman yang seperti ini sudah tentu merujuk pada pemahaman lafaz harfiahnya. Oleh sebab itu kaum Muslimin, berbeda dengan Yahudi dan Kristen, tidak pernah merasa bermasalah dengan lafaz-lafaz harfiah al-Qur'an.
Perbedaan selanjutnya adalah, bahwa Bible kini ditulis dan dibaca bukan lagi dengan bahasa asalnya. Bahasa asal Bible adalah Hebrew untuk Perjanjian Lama, Greek untuk Perjanjian Baru, dan Nabi Isa sendiri berbicara dengan bahasa Aramaic. Bible ini kemudian diterjemahkan keseluruhannya dalam bahasa Latin, lantas ke bahasa-bahasa Eropah yang lain seperti Jerman, Inggris, Perancis dan lain-lain, termasuklah bahasa Indonesia yang banyak mengambil dari Bible bahasa Inggris. Teks-teks Hebrew Bible pula mempunyai masalah dengan isu originality, sepertimana dinyatakan oleh seorang pengkaji sejarah Bible:
The Hebrew text now in our possession has one special peculiarity: notwithstanding its considerable age, it comes to us in relatively late manuscripts which are therefore far removed in time from the originals (sometimes by more than a thausand years). . . .none of these manuscripts is earlier than the ninth century C.E.
Begitu juga Kitab Perjanjian Baru, mempunyai masalah yang sama dengan Kitab Perjanjian Lama:
The New Testament scriptures also reflect similar problems as those of the Hebrew Bible. These scriptures, particularly the gospels, were written after the period of Jesus, in the Greek language, that he most probably did not speak. Moreover, it is acknowledged by prominent Christian authorities that the purpose of the gospel writers was not to write objective history but for evangelical purpose, which in part led to the profusion of allegorical commentaries.
Mengenai bahasa Hebrew Bible pula, karena tidak ada seorangpun kini yang native dalam bahasa Hebrew kuno, maka untuk memahami bahasa Hebrew Bible itu para teolog Yahudi dan Kristen memerlukan bantuan bahasa yang serumpun dengan Hebrew (Semitic languages). Dan bahasa yang dapat memberikan harapan untuk dapat mengungkap bahasa Hebrew kuno itu tidak lain adalah bahasa Arab, karena bahasa Arab masih hidup hingga ke hari ini.
. . . the search for the 'original Semitic language' was on. . . and Arabic with its 'primitive' inflections soon became the firm favourite as the primary witness to what that original language must have looked like.
Kita tahu bahwa bahasa Arab itu hidup karena pengaruh yang dihidupkan oleh al-Qur'an itu sendiri. Jadi al-Qur'an lah yang menyelamatkan bahasa Arab, sedangkan dalam kasus Bible, mereka mesti menyelamatkan dahulu bahasa Hebrew sebelum dapat menyelamatkan Bible. Oleh sebab itu dengan ketiadaan bahasa asal Bible pada hari ini, maka wajarlah kalau para teolog Yahudi dan Kristen mencari jalan dan metodologi untuk memahami kembali Bible melalui hermeneutika. Dalam hal ini hermeneutika kemungkinannya dapat membantu suatu karya terjemahan, lebih-lebih lagi apabila bahasa asalnya sudah tidak ditemukan lagi. Schleiermacher sendiri dikait-kaitkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa diantara tugas hermeneutika itu adalah untuk memahami teks "sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri," atau "to understand the author better than he understood himself." Maka wajarlah apabila Bible yang dikarang oleh banyak orang itu memerlukan hermeneutika untuk memahaminya dengan cara yang lebih baik dari para pengarang Bible itu sendiri.
Adapun al-Qur'an, bagaimana mungkin terfikir oleh kaum Muslimin bahwa mereka dapat memahami al-Qur'an lebih baik dari Allah s.w.t. atau Rasulullah s.a.w.? Oleh sebab itu, dalam upaya pemahaman yang lebih mendalam mengenai al-Qur'an, kaum Muslimin sebenarnya hanya memerlukan tafsir, dan bukan hermeneutika, karena mereka telah menerima kebenaran harfiah al-Qur'an sebagai Kalam Allah. Kalau diperlukan pemahaman yang lebih mendalam lagi, contohnya untuk ayat-ayat yang mutasyabihat, yang diperlukan adalah ta'wil. Perlu ditegaskan bahwa dalam tradisi Islam, ta'wil juga tidak sama dengan hermeneutika, karena ta'wil mestilah berdasarkan dan tidak bertentangan dengan tafsir, dan tafsir berdiri di atas lafaz harfiah al-Qur'an. Jadi sebagai suatu istilah, ta'wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir
Pembahasan dalam makalah ini dimulai dengan penjelasan kata-kata kunci dalam judul, yang meliputi al-Qur’an, hermeneutika dan Nasr Hamid Abu Zayd. Dengan demikian diharapkan pembaca dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang topik bahasan. Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang tertulis dan terkumpul dalam lembaran Mushaf dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir[1]Sedangkan hermeneutika adalah metode atau teori yang memfokuskan dirinya pada masalah interpretasi, khususnya digunakan dalam studi Bibel atau teks sastra.
Lebih lanjut dalam ensiklopedi Britannica dijelaskan bahwa ia adalah kajian tentang prinsip-prinsip umum terhadap penafsiran Bible. Bagi Yahudi maupun Kristen di sepanjang sejarah mereka, tujuan utama hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai Bibel (Perjanjian Lama dan Baru) melalui berbagai tehnik. Seringkali tehnik yang digunakan adalah dengan menyandarkan pada kondisi sejarah tertentu (certain historical conditions), situasi-situasi polemik atau apologetik yang diperkirakan dapat menemukan kebenaran atau nilai.
Status kesucian Bibel menurut Yahudi dan Kristen diyakini bahwa ia adalah manifestasi wahyu Tuhan. Maka sebagian mereka berpendapat bahwa penafsiran Bibel harus bersifat harfiyah (literal), sebab firman Tuhan adalah jelas dan sempurna (explicit and complete). Sebagian lainnya berpendapat bahwa kata-kata dalam Bibel harus selalu memiliki makna spiritual yang mendalam. Sebab pesan dan kebenaran Tuhan dengan sendirinya membuktikan kebesaran. Namun ada yang menggabungkan pendapat keduanya, yaitu sebagian isi Bibel harus didekati secara harfiyah dan sebagian lainnya secara kiasan (figuratively).[2]
Sedangkan Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd adalah pemikir modernis asal Mesir. Namanya sangat dikenal oleh para pemerhati pemikiran Islam setelah menggulirkan gagasan bahwa al-Quran hanyalah produk budaya, teks manusia, teks linguistik dan tidak lebih dari sekedar fenomena sejarah. Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia[3] dan pemikirannya banyak diajarkan oleh para dosen, akademisi di beberapa perguruan tinggi dan disuarakan oleh banyak tokoh liberal. Pujaan dan penghargaan terhadapnya bertaburan di berbagai buku, jurnal, ruang-ruang perkuliahan, seminar dan situs-situs internet. Bahkan oleh media barat dia dipandang sebagai ‘hero’ bagi tumbuhnya kebebasan berfikir, sementara di negara asalnya dia difatwa kafir oleh mahkamah yang didukung lebih dari 2000 ulama.[4]Sebagai contoh, dalam Encyclopedia Wikipedia, Abu Zayd dikisahkan sebagai seorang pemikir al-Qur’an (Qur’anic thinker) dan teolog liberal terkemuka asal Mesir. Dia menderita penganiayaan relijius yang serius, dikarenakan pandangannya tentang al-Qur’an sebagai sebuah karya sastra mistik.
Pada tahun 1995, dia dipromosikan untuk menduduki jabatan profesor, tetapi kontroversi keagamaan seputar karya akademisnya, membawanya pada keputusan murtad di pengadilan dan ditolak pengangkatannya. Encyclopedia Wikipedia mengulas bahwa pengadilan tersebut dikuasai oleh para cendekiawan Islam fundamentalis, sehingga dia diputuskan sebagai seorang murtad oleh pengadilan Mesir dan harus menceraikan istrinya. Dalam Encyclopedia ini, Abu Zayd dikisahkan sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia (a violation of human rights), korban pelanggaran kebebasan berekspresi (a violation of freedom of expression), korban pelanggaran kebebasan berkarya ilmiah (a violation of scientific freedom), korban pelanggaran privasi kehidupan keluarga (a violation of family private life) dan sebagainya.[5]Setelah mengaku adanya ancaman mati dari berbagai pihak,[6] pada tanggal 23 Juli 1995 Abu Zayd dan istrinya memutuskan untuk hengkang dari Mesir dan berdomisili di Belanda hingga sekarang.[7] Di negeri Belanda, Abu Zayd dihormati sebagai ilmuwan besar dalam bidang studi al-Quran, dianugerahi gelar profesor di bidang bahasa Arab dan studi Islam dari Leiden Universiteit sebuah universitas kuno yang didirikan sejak tahun 1575 di Amsterdam selatan.Saat ini dia menduduki “kursi Ibnu Rusyd dalam bidang kemanusiaan dan Islam” di Universitas Utrecht, Belanda. Selain itu dia juga membimbing mahasiswa S2 dan S3 di Universitas Leiden (termasuk beberapa di antaranya adalah para mahasiswa dari Indonesia), dan aktif terlibat dalam proyek riset tentang hermeneutika Yahudi dan Islam sebagai kritik kultural, bekerja pada tim “Islam dan Modernitas” di Institute of Advanced Studies of Berlin (Wissenschaftskolleg zu Berlin).
Pada tahun 2005, dia menerima “the Ibn Rushd Prize for Freedom of Thought”, Berlin, sebuah penghargaan atas usahanya mengkampanyekan ‘kebebasan berfikir’ di Mesir.[8]Kajian tentang pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dipandang penting, mengingat pengaruhnya yang luas di Indonesia. Sayangnya, belum banyak cendekiawan muslim Indonesia yang secara serius mengkritisi pemikirannya secara ilmiah dalam bentuk makalah atau buku.[9] Gambaran tentang besarnya pengaruh Abu Zayd di Indonesia, terutama di perguruan tinggi Islam, dapat kita simak dari laporan hasil penelitian Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama pada 15/11/06 tentang ‘Faham-faham Keagamaan Liberal Pada Masyarakat Perkotaan’. Di Yogyakarta, penelitian difokuskan pada UIN Sunan Kalijaga, yang hasilnya menyebutkan:“Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid.
Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melenggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan oleh perguruan tinggi Islam dinusantara ini hermeneutika makin digemari. Terhadap Al-Hadits tetap harus ada kritik terhadap perawi-perawi hadits, kritik terhadap hadits-hadits mutawatir, bahkan terhadap ideologi Islam. Menurut Zuly Qadir bahwa yang menjadi salah satu kunci dari penafsiran agama adalah tidak ada tafsir dan pemahaman absolut terhadap agama.
Dalam menyikapi perbedaan, Islam Liberal tidak menjustifikasi benar atau salah[10]Selanjutnya, makalah ini secara ringkas dan sederhana akan difokuskan pada teori hermeneutika al-Qur’an versi Abu Zayd disertai dengan contoh-contoh ‘penemuannya’, pengaruhnya di Indonesia dan disertai dengan beberapa ulasan.
2. Nasr Hamid Abu Zayd dan Teori Interpretasi
Menurut Abu Zayd, pembacaan teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan Hadits) hingga saat ini masih belum menghasilkan interpretasi yang bersifat ilmiah-objektif (‘ilmi-mawdhu‘i),[11] bahkan terpasung dengan pewarnaan unsur-unsur mistik (usthurah), khurafat dan interpretasi literal yang mengatasnamakan agama.
Penyimpulan Abu Zayd ini didasarkan pada pengamatannya terhadap fenomena dan gerakan perkembangan keagamaan (zhahirah wa harakah al-madd al-dini).[12] Oleh karena itu, dalam mewujudkan interpretasi yang hidup dan saintifik terhadap teks-teks keagamaan, Abu Zayd menawarkan interpretasi rasional dan menekankan pentingnya kesadaran ilmiah (wa‘y ‘ilmy) dalam berinteraksi dengan teks-teks keagamaan. Hal ini dilakukan untuk membersihkan teks keagamaan dari unsur-unsur yang berbau mistik, khurafat dan bercorak interpretasi literal yang dihegemoni oleh aspek ideologis. Dengan dua pendekatan ini, Abu Zayd berusaha mewujudkan sebuah proyek penyelidikan (al-masyru‘ al-istiksyafi).[13]Keterpasungan interpretasi yang dimaksudkan Abu Zayd adalah interpretasi yang tidak sejalan dengan tabiat dan sifat dasar teks, sehingga makna yang dihasilkannya tidak melalui mekanisme sebuah penafsiran. Baginya, corak interpretasi ini lebih menonjolkan unsur ideologi dari pada unsur keilmiahan dan biasanya dimonopoli oleh kalangan fundamentalis yang mengabaikan indikasi peranan penguasa baik dalam isu-isu keadilan sosial, independensi ekonomi maupun politik.
Kalangan pemasung interpretasi ini senantiasa beranggapan bahwa Islam adalah satu-satunya solusi (al-Islam huwa l-hall) dan menganggapnya sebagai komponen substantif-orisinil (mukawwin jawhari ashil) dalam pembentukan umat.[14] Slogan seperti ini dipandang Abu Zayd sebagai ‘problem’ pembacaan teks-teks keagamaan yang paling tidak ilmiah dan objektif hingga saat ini.[15]Tidak mengherankan bila kemudian Abu Zayd menyayangkan peran para ulama abad ke-4 dan ke-5 H yang telah membuat kriteria maqbul-mazhmum (diterima-tercela) di bidang penafsiran. Menurutnya, kriteria tersebut hanyalah akal-akalan ulama Ahlussunnah kemudian Abu Zayd membenturkannya dengan beberapa tokoh Mu’tazilah.[16]Interpretasi rasional yang dimaksud Abu Zayd adalah corak pendekatan interpretasi yang dilakukan oleh golongan pencerah (tanwiriyyun) –– atau biasa disebut sebagai golongan sekuler. Sebab pada intinya sekularisme, -bagi Abu Zayd-, tidak lain hanyalah ajaran tentang “interpretasi realistis dan pemahaman yang ilmiah terhadap agama” (al-ta’wil al-haqiqi wa l-fahm al-‘ilmi li l-din). Dengan demikian Abu Zayd menolak tegas tuduhan para fundamentalis Islam yang memandang golongan sekuler sebagai atheis (mulhid) yang memisahkan agama dari masyarakat dan kehidupan.[17]Interpertasi teks-teks keagamaan, menurutnya adalah bagian dari pemikiran keagamaan. Pemikiran keagamaan hanya tunduk pada hukum yang mengatur gerak pemikiran manusia dan tidak berasumsi bahwa agama adalah sakral dan mutlak. Oleh karena itu, Abu Zayd melakukan pemisahan antara ‘agama’ dan ‘pemikiran keagamaan’. Agama dimaknai sebagai kumpulan teks-teks suci yang tetap secara historis. Sedangkan pemikiran keagamaan adalah segala usaha ijtihad pemikiran manusiawi untuk memahami teks-teks agama, menginterpretasikannya dan menemukan maknanya yang terus berkembang seiring dengan berkembangnya zaman dan menurut ruang lingkungannya. (al-din huwa majmu‘atu l-nushush al-muqaddasah al-tsabitah tarikhiyyan. fi hini anna l-fikra dini huwa ijtihadat al-bashariyyah li fahmi tilka l-nushush wa ta’wiluha wa istikhraj dalalatih)[18]Interpretasi rasional terhadap teks-teks agama, bagi Abu Zayd dapat direalisasikan dengan ‘supremasi data empiris’, yaitu dengan cara “menumbuhkan kesadaran historis-ilmiah terhadap teks-teks keagamaan”. Pengertian kata “kesadaran” (wa‘y) di sini adalah segala aktivitas yang terus berkembang dan tidak mengenal bentuk kemapanan (formalisasi).[19] Sedangkan maksud ‘menumbuhkan kesadaran historis-ilmiah terhadap teks agama’ (al-Qur’an) yaitu dilakukan dengan pendekatan linguistik.
Pendekatan linguistik versi Abu Zayd tidak menempatkan peranan Pencipta Teks (Allah SWT) dalam menafsirkan teks, tapi peranan tersebut secara mutlak diserahkan pada pembaca teks (manusia), -dengan segala aspek sosial dan latar belakang historisnya. Dia juga menolak pendekatan asbab al-nuzul maupun naskh wa mansukh, karena diwarnai dengan unsur ideologi dan sekte tertentu.[20]Corak penafsiran teks Abu Zayd lebih ditekankan pada superioritas data empiris dan menjadikannya sebagai landasan pokok berbudaya dan beragama.[21] Dengan demikian, interpretasi dan makna teks tidak pernah berpenghujung, bahkan ia senantiasa berkembang seiring dengan berkembangnya realitas. Sebab teks berasal dari realitas, sehingga makna teks pun dengan sendirinya harus mengikuti perubahan realitas.
Dengan menggunakan prinsip ini, maka makna teks al-Qur’an pun tidak pernah sampai pada makna final. Sebab menurut Abu Zayd yang bersifat final dan tetap hanyalah Allah. Inilah sejatinya paham realisme (al-waqi‘iyyah) yang memandang bahwa realitas lahiriyah (material) dapat menggambarkan wujud yang hakiki, tanpa memerlukan pengetahuan akal.[22]Dengan menyelami realitas di sekitar teks, maka Abu Zayd mempromosikan mekanismenya dalam memaknai sebuah teks. Yaitu teks ditinjau dari latar belakang kondisi historisnya yang didukung oleh analisa linguistik. Inilah hakekat ‘proyek penyelidikan ilmiah’ versi Abu Zayd. Sebab teks-teks agama bukanlah solusi akhir melainkan sekedar kumpulan teks-teks linguistik, yang berarti bahwa teks-teks tersebut bersandar pada kerangka kebudayaan terbatas, yang sempurna pembuatannya (diproduksi) sesuai dengan aturan legal kebudayaan tersebut dan memposisikan bahasa sebagai sistem pemaknaannya yang sentral.[23]Ini berarti sebagai teks linguistik, al-Qur’an sebagai teks agama berdiri tegak di atas kerangka kebudayaan yang terbatas (Arab), sehingga harus dipahami dengan piranti bahasa Arab yang digunakan oleh kebudayaan tersebut pada saat itu. Melalui pendekatan seperti ini, Abu Zayd menyakini bahwa pemaknaan teks yang dihasilkannya adalah ilmiah dan dapat menggambarkan unsur-unsur kebudayaan yang mempengaruhinya.
Maka dari uraian tentang teori penafsiran Abu Zayd di atas, perlu digarisbawahi bahwa sebenarnya dia mendasarkan pembacaan teks pada interpretasi realisme dan kesadaran ilmiah yang disebutnya sebagai “proyek penyelidikan”. Proyek ini sejatinya bertujuan:Untuk memberikan penafsiran terhadap teks-teks keagamaan yang terbebas dari belenggu mitos dan khurafat, serta penafsiran literal yang sarat dengan aspek ideologis. Pengertian mitos dan khurafat di sini meliputi segala yang tidak dapat dijangkau oleh indera, tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dan di luar nalar akal. Maka tidak mengherankan bila kemudian Abu Zayd menolak pengertian kata Jin, Syetan dan Sihir yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai wujud yang independen dalam alam ini. Sebagai gantinya dia memberikan penafsiran metaforis (majaz) terhadap ketiga kata tersebut.membebaskan dari unsur penafsiran ideologis.
3. Pandangan Abu Zayd terhadap al-Qur’an
Dalam pandangan Abu Zayd, al-Quran hanyalah fenomena sejarah yang tunduk pada peraturan sejarah.[24] Maka sebagai ‘suatu’ yang sudah mensejarah dan terealisasi dalam dunia yang temporal-terbatas, al-Qur’an juga bersifat temporal-historis dan harus dipahami dengan pendekatan historis. Abu Zayd juga memandang al-Quran sebatas teks linguistik yang tidak dapat melepaskan dirinya dari aturan bahasa Arab yang dipengaruhi oleh kerangka kebudayaan yang melingkupinya.
Dengan demikian pemaknaannya selalu tunduk pada latar belakang zaman, ruang historis dan latar belakang sosialnya.[25] Di samping itu, dia juga menganggap al-Quran bukan lagi teks Tuhan yang sakral, tapi telah bergeser menjadi teks manusia yang nisbi (samar) dan maknanya selalu berubah, karena telah masuk dalam pemahaman manusia yang relatif.
Dengan begitu, dia memisahkan al-Quran secara total antara lafadz dan maknanya. Yang mutlak dan sakral adalah al-Quran yang mentah di alam metafisika (Lawh Mahfuzh), yang tidak pernah diketahui sedikit pun tentangnya, melainkan yang disebutkan oleh teks itu sendiri. Lalu al-Quran tersebut dipahami dari sudut pandang manusia yang berubah dan nisbi. Sejak turun, dibaca dan dipahami Nabi, al-Quran telah bergeser kedudukannya dari Teks Tuhan menjadi teks manusia. Hal ini disebabkan al-Quran telah berubah dari wahyu menjadi interpretasi”.[26]Kemudian Abu Zayd menuduh musyrik bagi mereka yang menyakini mutlaknya penafsiran, karena telah menyamakan yang Mutlak (Tuhan) dan yang nisbi (manusia) dan menyamakan antara Maksud Tuhan dan pemahaman manusia.[27]Dikarenakan al-Qur’an sudah tidak lagi mutlak dan telah berubah menjadi makna yang relatif, maka bagi kalangan liberal Islam, hermeneutika dipandang perlu sebagai perangkat interpretasi teks keagamaan.
Moch. Nur Ichwan, salah satu murid Abu Zayd, menguatkan bahwa dalam konteks Islam, hermeneutika dimaknai sebagai teori dan metode yang memfokuskan dirinya pada problem pemahaman teks. Dikatakan problem, mengingat sejak awal diwahyukannya, al-Qur’an dirasa sulit untuk dipahami dan dijelaskan. Problem tersebut semakin rumit manakala Rasulullah wafat, sehingga tidak ada lagi otoritas tunggal yang menggantikannya. Oleh sebab itu penggunaan hermeneutika dalam studi al-Qur’an tidak bisa diabaikan lagi. Bahkan saat ini, hermeneutika al-Qur’an dinyatakan telah menjelma menjadi kajian interdisiplin yang memerlukan penerapan ilmu-ilmu sosial dan humanitas.[28]Abu Zayd juga memandang al-Qur’an secara dikhotomis yang memiliki dua dimensi; dimensi historis (nisbi) dan dimensi ketuhanan (mutlak), Abu Zayd mempertanyakan: Apakah setiap yang termaktub dalam al-Quran adalah firman Allah yang harus diaplikasikan? Pertanyaannya ini dijawabnya dengan menganalogikannya pada Bibel dalam pandangan Kristen, tulisnya: “According to Christian doctrine, not everything that Jesus said was said as the Son of God. Sometimes Jesus behaved just as a man”.[29] Pada akhirnya, pemutlakan nisbinya penafsiran bermuara pada seruan Abu Zayd untuk meninggalkan kekuasaan teks-teks agama (al-Qur’an dan Hadits) karena dianggap membelenggu kebebasan berfikir.[30]Ringkasnya, pandangan Abu Zayd tentang al-Quran, kenisbian tafsir dan pemikiran keagamaan dapat dirangkum secara runtut sebagai berikut:Memberikan definisi dikhotomis antara agama dan pemikiran keagamaan yang berbeda total antara satu dengan lainnya sebagai pintu masuk.Meragukan satu persatu kedudukan agama dan pemikiran keagamaan yang didefinisikan secara dikhotomis. Agama yang dimaknai sekedar kumpulan teks suci, kemudian direlatifkan eksistensi kemutlakannya. Teks yang mutlak dan suci (dalam hal ini adalah al-Qur’an), hanyalah yang berada di Lawhul Mahfuzh. Teks suci tersebut tidak pernah diketahui oleh seorang muslim pun. Sehingga pada akhirnya, hanya menyisakan kenisbian dan meragukan kedudukan al-Quran.
Setelah meragukan eksistensi al-Quran (atau keberadaan agama itu sendiri) sebagai kitab yang mutlak dan suci, kemudian Abu Zayd mengebiri fungsi dan perannya sebagai solusi akhir bagi manusia. Sebab teks-teks yang dipandang suci dan mutlak tersebut pada hekekatnya adalah teks atau agama sejarah, yang muncul pada suatu bangsa, pada suatu waktu dan identik dengan budaya bangsa tersebut pada saat itu. Sehingga sebagai agama atau teks sejarah, ia akan terus berkembang sesuai dengan tempat dan zamannya, relatif dan tidak bisa diklaim sebagai aturan yang mutlak dan tetap.Merombak dan menolak pemikiran keagamaan yang didefinisikan secara dikhotomis dengan agama dalam poin pertama, sehingga pada akhirnya baik agama maupun pemikiran keagamaan sama-sama ditolak, direduksi dan didekonstruksi (dirombak).
Penolakan Abu Zayd terhadap pemikiran keagamaan ini tentunya berdasarkan adanya warna suatu dogma dan ideologi terhadap pemikiran keagamaan. Indikasi dogma dan ideologi yang mewarnai pemikiran keagamaan adalah selalu menjadikan Allah sebagai hakim dalam memahami teks dan menelantarkan posisi manusia sebagai makhluk yang historis dalam membaca teks menurut ruang dan waktu ia berada. Maka Abu Zayd pun terjebak dengan ideologi lainnya, yaitu mengutamakan manusia sebagai pembaca teks dan menelantarkan Allah SWT sebagai Sang Pemilik dalam memaknai sebuah teks.Terakhir, seruan meninggalkan agama (kitab suci): “Telah tiba saatnya menganalisa dan melangkah ke era pembebasan –tidak hanya sekedar dari kekuasaan teks-teks agama— tetapi juga dari setiap kekuasaan yang mengekang ruang gerak manusia di dunia ini. Kita harus bertindak sekarang dan cepat, sebelum disapu oleh banjir bandang.
4. Di antara Hasil ‘Ijtihad’ Abu Zayd
4.a. Homoseksual
Berangkat dari dikhotomi antara Yang Mutlak dan yang nisbi, dalam bukunya “Voice of an Excile”, Abu Zayd secara tegas menghalalkan prilaku homoseksual sebagai fenomena yang alami dan menganjurkan revolusi total terhadap pemahaman al-Quran, karena pemahaman klasik memandang homoseksual sebagai penyimpangan kodrat manusia.[31]Bagi Abu Zayd homoseksual bukanlah suatu penyakit, dan secara biologis kasus homoseksual adalah berbeda dari sisi genetik. Dengan merujuk pendapat Dr. Rudolph Steinberger, pakar psikologis yang merupakan teman karibnya di Belanda, bahwa telah terjadi ketimpangan pada masyarakat dalam memandang homoseksual, yaitu ketika mereka tidak dapat mengenali dan menerima adanya perbedaan dalam diri setiap individu.
Menanggapi penjelasan Steinberger, Abu Zayd berkata: “Saya menjadi sadar bahwa homoseksual adalah fenomena yang alami”.[32] Dengan pemahamannya ini, kemudian Abu Zayd mempertanyakan ajaran Islam:“Will Islam ever accept homosexuality as anything other than aberrant? Not until we have real revolution – a change in the way we think about the Qur’an in conjunction with our lives”.[33](Apakah Islam selalu menerima homoseksual selain sebagai perilaku yang menyimpang? Tidak [pernah berubah pandangan semacam ini] kecuali kita melakukan revolusi yang nyata – suatu perubahan cara kita berfikir tentang al-Qur’an dalam hubungannya dengan kehidupan kita)Abu Zayd mengomentari budaya bangsanya yang tidak bersikap toleran dengan “apa yang disebut dalam Islam sebagai perilaku seksual menyimpang (aberrant sexual behavior).
Dia menyayangkan kenapa bangsanya menganggap homoseksual sebagai dosa, kriminal, melawan kodrat alam dan kehendak Tuhan. “Haruskah saya, -sebagai seorang muslim, berdiri di belakang kultur saya dan turut mengutuk masyarakat di luar ortodoks (yaitu yang menganggap homoseksual adalah perilaku alami)?Berdasarkan atas luasnya pergaulan Abu Zayd dan pengamatannya terhadap kaum homoseksual selama di USA, dia mengambil kesimpulan yang cenderung memuji mereka. Bahkan dalam pandangannya, kaum homoseksual kebanyakannya adalah masyarakat yang kreatif, sebagiannya bekerja sebagai artis dan musikus.[34] Dalam mengekspresikan kekagumannya kepada kaum homoseksual ini, Abu Zayd menulis:“I liked many of them and even grew to admire some of them. I never was able to write about this experience in Egypt…”.[35](Saya sangat menyukai kebanyakan dari mereka, dan bahkan mulai mengagumi sebagian mereka. Saya tidak pernah bisa untuk menulis tentang pengalaman seperti ini di Mesir…)

4.b. Faham Feminisme
Seperti umumnya tokoh-tokoh liberal lainnya yang menyuarakan kesamaan gender (gender equality), baik dalam hak waris bagi perempuan, mengharamkan poligami, menolak pembatasan pakaian (jilbab) dan isu-isu feminisme lainnya, Abu Zayd pun tidak ketinggalan mengambil peran dalam memperkuat faham ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa feminisme adalah bagian dari liberalisasi agama.
Dalam mensikapi poligami, Abu Zayd berpendapat bahwa sebenarnya solusi yang ditetapkan oleh al-Qur’an adalah solusi sementara, tidak bersifat permanen dan tidak berarti membenarkan keberadaan poligami. Poligami hanyalah solusi terhadap problem anak yatim yang sesuai untuk diterapkan pada abad ke-7. Di mana pada saat itu poligami telah dipraktekkan secara luas, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa poligami adalah hukum al-Qur’an.[36]Akan tetapi di zaman sekarang ini, Abu Zayd berpendapat bahwa poligami tidak lagi dibolehkan, bahkan dilarang. Sebab pada saat ini, poligami adalah penistaan bagi wanita, sebagaimana juga terhadap anak-anak yang lahir di tengah-tengah keluarga mereka. (polygamy is insulting to women as well as to the children born into the family).[37]Sedangkan mengenai kewajiban menutup aurat dengan mengenakan jilbab, Abu Zayd secara tegas mengatakan bahwa pandangan seperti ini tidak lain hanyalah simbol pengekangan terhadap akal wanita dan eksistensi sosialnya. Lebih lanjut dia mengatakan:”Sesungguhnya pengekangan wanita dalam busana jilbab adalah simbol penjelmaan pemasungan pada akal dan eksistensi sosialnya, dan pengabaian eksistensi sosialnya ini adalah praktek pembunuhan yang serupa dengan praktek ritual bom bunuh diri yang sewaktu-waktu diarahkan kepadanya untuk pengekangan wanita Mesir”.[38]Adapun tentang pembagian harta waris, Abu Zayd berpendapat bahwa sebelum kedatangan Islam di jazirah Arab pada abad ke 7M, wanita tidak mendapatkan harta waris sedikitpun, karena sistem peraturan masyarakat menganut sistem patriarkal. Anak laki-laki tertua mewarisi semua harta peninggalan. Kemudian Islam merubah aturan ini. (QS. Al-Nisa’: 11)Menurut Abu Zayd, ayat di atas menekankan terjadinya perubahan dalam hukum masyarakat, yaitu wanita mempunyai hak bagian dalam harta warisan. Substansi arahannya adalah prinsip keadilan (justice).
Namun sebenarnya, bila dicermati secara mendalam, ayat di atas justru menekankan pembatasan terhadap hak-hak kaum laki-laki (limiting the rights of men). Sebab pada ayat di atas (QS. Al-Nisa’: 11), penyebutannya jelas mendahulukan kata li l-dzakari (bagi laki-laki), dan tidak sebaliknya, li l-untsayayni mitslu hazhi l-dzakari (bagian dua orang anak perempuan sama dengan bagian seorang anak lelaki). Penyebutan laki-laki yang mengawali perempuan tersebut, berarti bahwa al-Qur’an menyibukkan dirinya dengan pembatasan bagian harta waris untuk laki-laki. Sebab dalam tradisi jahiliyyah, kaum laki-laki mewarisi semua harta peninggalan, tanpa batas. Maka Abu Zayd menyimpulkan, sebenarnya al-Qur’an –secara perlahan dan pasti- cenderung mengarah pada kesamaan antara wanita dan laki-laki, khususnya pada kesamaan bagian harta peninggalan.[39]Kesimpulan Abu Zayd ini tentunya adalah sebuah konsekwensi logis dari pendekatan yang dianutnya, yaitu konteks historis (historical context). Di mana dia selalu menghubungkan semua aspek hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an berkenaan dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab pada abad 7M, seperti halnya saat dia menafsiran ayat-ayat hudud (jenis hukum kriminal). Tentang ayat hudud ini, dia berpendapat bahwa semua jenis hukuman yang tertera dalam al-Qur’an menggambarkan pesan realitas sosial (reflect a historical reality) dan tidak berarti menggambarkan bentuk spesifik perintah Tuhan (Divine imperatives) yang harus dijalankan di sepanjang masa. Sebab dalam hal ini, al-Qur’an tidak bermaksud untuk menegakkan jenis hukuman (rajam,qisas, dll) yang disebutkan di dalamnya. Menurut Abu Zayd, penyebutan jenis hukuman yang diambil dari budaya sebelum Islam tersebut tidak lain agar al-Qur’an mempunyai kredibilitas dengan peradaban kontemporer. Pada akhirnya substansi semua jenis hukuman tersebut adalah adanya hukuman untuk sebuah tindak kriminal (punishment for crime).[40]Bila dirunut secara kritis, pendapat Abu Zayd ini tidak sesuai dengan teori proyek penyelidikan yang dikembangkannya dalam pembacaan teks. Sebab dari hasil kesimpulan pendapatnya, -khususnya- tentang jilbab, poligami, pembagian waris dan penerapan jenis hukuman yang tertera dalam al-Qura’an (hudud) di atas, tidak ditemui satu pun bukti tertulis dari ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits yang menguatkan pendapatnya. Padahal dalam teori proyek penyelidikannya, dia menganjurkan sebuah pendekatan yang memegang prinsip-prinsip objektif-ilmiah dan demitologisasi (penghapusan mitos) agar tidak terjebak dalam sebuah ideologi. Karena Abu Zayd tidak menemukan bukti tertulis dari al-Qur’an maupun Hadits, maka sebagai gantinya dia menyebutkan “yang tidak terkatakan” (al-maskut ‘anhu) dan memperkuatnya dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab saat itu (historical context).Tentunya teori “al-maskut ‘anhu” ini sangat tidak ilmiah. Sebab teori ini menggambarkan seolah-olah Abu Zayd lebih mengerti “maksud Tuhan” yang tidak difirmankan-Nya. Padahal dia sendiri mengingkari al-Qur’an dalam bentuknya yang mutlak di lawh mahfuzh, karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Apalagi dia juga cenderung berpendapat bahwa manusia yang relatif tidak akan pernah mengetahui maksud Tuhan yang mutlak. Hal ini tentunya menggambarkan bahwa pendapatnya ini sangat kontradiktif antara satu dengan lainnya. Lebih aneh lagi, ketika Abu Zayd berdalih dengan historical context untuk memperkuat teori “al-maskut ‘anhu”-nya ini. Sebab alasan ini hanyalah bertujuan untuk menampilkan “ideologi”nya dan menggeser ideologi yang bertentangan dengannya. Ideologi Abu Zayd yang ingin ditampilkannya adalah ideologi anti kemapanan dengan mendasarkan pada latar belakang historical context. Sehingga dengan sendirinya dia menolak segala formalisasi jenis hukuman yang termaktub dalam al-Qur’an. Dan sebagai konsekwensinya adalah setiap bentuk hukuman (the particular form of punishment) dalam al-Qur’an tidak bersifat final dan senantiasa berubah menurut kondisi sejarah, waktu dan tempat. Karena itu, semua jenis hukum yang termaktub dalam al-Qur’an tidak lain hanya diperuntukkan untuk kondisi waktu itu (specific punishment for particular time).Di sisi lain teori “al-maskut ‘anhu” tidak lain dari kelanjutan teori kesinambungan (gradual method, al-manhaj al-tadriji) versi al-Thahir al-Haddad,[41] pemikir sekuler Tunisia awal abad 20M (sekitar 1929an), yang meninggal dalam usia muda. Dalam bukunya, “al-Mar’ah fi Khithabi l-Azmah” (Wanita dalam Wacana Krisis), Abu Zayd banyak menukil pemikiran al-Thahir dan menguatkannya.[42]
4.c. Jin dan Sihir
Abu Zayd melakukan perombakan (dekonstruksi) makna terhadap hal-hal yang terkandung dalam al-Qur’an yang dianggapnya sebagai mitos. Seperti sosok jin, syetan, hasad dan sihir. Baginya, keempat ungkapan ini adalah sebuah fenomena yang melekat pada pemikiran dan hadir dalam kesadaran manusia pada masyarakat Arab dalam periode tertentu. Yaitu pada masa-masa pra-Islam dan di awal pertumbuhan agama ini. Sehingga unsur-unsur kepercayaan (mitos) jahiliyyah masih mewarnai ajaran agama Islam.
Mengenai hal ini Abu Zayd menyatakan:”Sihir, hasad, jin dan syetan-syetan adalah kata-kata yang terdapat dalam kerangka pemikiran yang terikat dengan periode tertentu (abad 7M) dari perkembangan kesadaran manusia, kemudian teks (al-Qur’an) merombak (makna) syetan sebagai kekuatan penghalang, lalu menjadikan sihir sebagai salah satu alat untuk memperdaya manusia”.[43]Kemudian setelah menyebutkan ayat di atas, dia berkesimpulan bahwa ayat-ayat yang berbicara tentang sihir pada hakekatnya muncul dalam bingkai cerita sejarah, yang artinya bahwa teks al-Qur’an mendudukkan sihir sebagai bukti sejarah. Dengan kata lain, pengertian keempat konsep di atas (jin, syetan, sihir dan hasad), dalam pandangan Abu Zayd dipahami dari sudut pandang historis dalam konteks kondisi masyarakat Arab pada saat turunnya wahyu.
Dalam hal ini dia menyatakan sebagai berikut:”Dan setiap yang memiliki pengertian bahwa semua isyarat al-Qur’an yang mengarah pada sihir, sesungguhnya muncul dalam konteks cerita sejarah, yang berarti bahwa teks [al-Qur’an] yang berbicara tentang hal tersebut [sihir] dipandang sebagai bukti sejarah”Pernyataan di atas menjelaskan bahwa Abu Zayd menolak keberadaan sihir sebagai sesuatu yang nyata dan dengan demikian dia juga mengingkari hadits yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah disihir oleh salah seorang Yahudi. Padahal kisah tersebut adalah nyata berdasarkan bunyi hadits berikut:Dari Yazid ibn Arqam, dia berkata bahwa Nabi SAW telah disihir oleh seorang laki-laki Yahudi, maka beliaupun mengeluh sakit karena sihir itu dalam beberapa hari. Kemudian datanglah Jibril AS kepada beliau, dan berkata: “Sesungguhnya seorang laki-laki Yahudi telah menyihirmu dengan mengikatkan beberapa tali buhul untukmu di suatu sumur”. Lalu mengirim (beberapa sahabat) dan merekapun mengeluarkan (buhul-buhul) tersebut, lalu mereka datang membawa buhul tersebut, dan bangkitlah Rasulullah SAW, seakan-akan sakitnya yang diakibatkan sihir tali buhul itu langsung sembuh. Beliau tidak pernah menceritakan hal itu sebagai akibat ulah orang Yahudi itu dan tidak terlihat di wajah beliau sedikitpun hingga wafatnya. (Sunan al-Nasa’i, Kitab Tahrim al-Dam, 4.012; dan Musnad Ahmad, Musnad al-Kufiyyun, 18.467).[44]Sedangkan pemaknaan jin dan syetan sebagai makna metaforis (majaz), yang ditafsirkan dengan kekuatan penghalang dan mengingkari eksistensinya sebagai salah satu makhluk Allah, adalah kebiasaan kalangan modernis yang senantiasa mengartikan segala yang gaib dengan penafsiran materialistis (materialistic interpretation). Konsep gaib, seperti yang tertera dalam QS. Al-Baqarah: 3 yang menjelaskan di antara ciri-ciri orang beriman adalah beriman pada yang gaib, biasanya dimaknai secara materialistik dalam pengertian yang eksperimental yang suatu saat akan dapat dijelaskan oleh penemuan-penemuan ilmiah yang mutakhir.
Sehingga konsep gaib menurut mereka bukan bersifat mutlak, tapi lebih bermakna gaib yang relatif (a relative unseen), seperti yang diyakini oleh Syahrur.[45]Pengertian konsep gaib secara materialistik, sangat kontradiktif dan bertentangan dengan beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya:“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raf: 179)“Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan)”. (QS. Al-Naml: 17)“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. Al-Dzariyat: 56)Perkataan “Jin” pada ayat-ayat tersebut dan yang semisal dengannya, tidak mungkin dapat diartikan dengan makna kekuatan penghalang atau kekuatan jahat. Sebab kata-kata “jin” senantiasa bergandengan dengan kata “manusia” dan makhluk Allah lainnya. Maka mengacu ayat-ayat di atas, baik secara teks maupun konteks makna jin adalah salah satu jenis makhluk Allah.
5. Ulasan Kritis terhadap Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd
Klaim adanya dikhotomi antara yang mutlak dan yang nisbi; antara al-Qur’an dan tafsirnya; antara agama dan pemikiran keagamaan, seperti yang dikemukakan oleh orang-orang semisal Abu Zayd akan membuka beberapa konsekwensi serius.
Pertama: kebenaran al-Quran hanya dimiliki Tuhan saja. Sehingga saat kebenaran itu sampai pada manusia, ia menjadi kabur, sebab manusia tidak pernah tahu apa maksud Tuhan dalam al-Quran. Pemikiran seperti ini berarti bahwa Tuhan tidak pernah berniat menurunkan al-Quran untuk manusia.
Kedua: mengingkari tugas Nabi yang diutus untuk menyampaikan dan menjelaskan wahyu.
Ketiga: menyeret pada pengertian bahwa seolah-olah semua ayat al-Quran tidak memiliki penafsiran yang tetap dan disepakati. Bahkan semua penafsiran dipengaruhi oleh kepentingan penafsir dan situasi psiko-sosialnya.
Keempat: menolak otoritas keilmuan, syarat dan kaidah dalam menafsirkan al-Quran, sebab setiap orang berhak menafsiri al-Quran dengan kwalitas yang sama nisbinya.
Kelima: membatalkan konsep dakwah dalam Islam, karena semua perintah dan larangan dalam al-Quran bersifat nisbi yang tidak harus dilaksanakan. Maka akibatnya umat Islam tidak wajib melaksanakan perintah ayat dakwah: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu…” (QS. Al-Nahl: 125). Sebab ayat tersebut akan dipertanyakan lagi, jalan Tuhan yang mana? Kalau Islam, Islam yang mana? Islam Muhammadiyyah, NU, PERSIS, PKS atau Islam apa?Keenam: berlawanan dengan konsep ilmu dalam Islam. Sebab definisi ilmu dalam Islam adalah sifat yang dapat menyingkap suatu objek, sehingga tidak menyisakan ruang keraguan; dan berakhir pada keyakinan. Sementara relativisme selalu bermuara pada kebingungan.Ketujuh: membubarkan konsep amar ma’ruf nahi munkar. Sebab paham relativisme akan menisbikan batasan antara yang ma’ruf dan yang munkar, hingga akhirnya menjadi kabur dan samar. Paham relativisme akan mengatakan bahwa yang ma’ruf menurut sebagian orang, bisa jadi munkar bagi sebagian lainnya. Padahal Nabi SAW telah mengingatkan kaum muslimin untuk menjauhi hal-hal yang bersifat syubhat (samar).Andaian nisbinya tafsir secara mutlak, tentu sulit diterima akal yang jernih. Adanya perbedaan dalam penafsiran al-Quran, bukan berarti penafsiran itu mutlak nisbi.
Walaupun dalam tradisi khazanah keislaman klasik, terdapat banyak ragam penafsiran ulama. Namun keragaman penafsiran itu tetap dalam koridor universalitas al-Quran dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah, hukum syariat dan sebagainya. Misalnya dalam bidang akidah, tidak ada ulama yang menafsirkan makna ayat “Qul huwallahu ahad”, dengan membenarkan teologi Trinitas. Bahkan mereka sepakat menafsirkan kata kafara dalam QS.5:73 (Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga), dengan makna murtad, dan tidak ada yang memaknai kufur nikmat.Dalam menafsirkan ayat-ayat tentang syariat pun, para mufassirin tidak berbeda pendapat tentang arah kiblat, jumlah rakaat shalat fardu, wajibnya puasa Ramadan, zakat, serta tempat berhaji. Di antara keragaman kitab tafsir, juga tidak dijumpai satu penafsiran pun yang mengatakan bahwa hukum kriminal (hudud) dan waris telah usang (out of date), dan terpengaruh budaya arab. Perbedaan antara madzhab hanya bersifat cabang (furu’iyyah), teknis fiqh dan bukan pada hal-hal yang bersifat fundamental.Sedangkan asumsi historisitas al-Qur’an, baik dengan menyebutnya sekedar teks linguistik, produk budaya maupun teks manusia, tidaklah mempunyai dasar yang kuat. Sebab ‘kesadaran ilmiah’ (al-wa‘yu l-‘ilmi) yang diproyeksikan Abu Zayd sebagai pendekatan ilmiah dalam kajian keagamaan, tidak lain adalah karbon kopi dari metode ‘kesadaran historis’ (historical consciousness) versi Wilhem Dilthey[46], dan tentunya bila diterapkan pada wacana keagamaan akan meragukan nilai-nilai agama, mengaburkan batasan yang jelas antara makna qath’i (pasti) dan zhanni (dugaan), antara tsawabit (hal-hal yang bersifat tetap) dan mutaghayyirat (hal-hal yang berubah), antara yang ijma’ (disepakati) dan ikhtilaf (berbeda), antara yang mutawatir dan ahad dan sebagainya, serta mengedepankan realitas untuk berkuasa atas pemaknaan teks.
Pendekatan hermeneutika yang dipropogandakan kalangan modernis semisal Abu Zayd untuk menggeser peranan tafsir dan ta’wil dalam studi al-Qur’an, tidak hanya janggal dalam tradisi keilmuan Islam, malah terbilang bertentangan. Sebab, terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara hermeneutika di satu sisi, dan tafsir - ta’wil di sisi lain. Perbedaan tersebut terutama dalam sifat alamiahnya; otoritas dan keaslian teks; serta dari sisi kebakuan bahasa dan makna dalam memaknai kitab suci. Hermeneutika yang telah lama digunakan dalam tradisi Yunani, Yahudi dan Kristen sebenarnya adalah jawaban atas keaslian sandaran keagamaan yang terus menjadi perdebatan. Keyakinan, tradisi dan ritual keagamaan bangsa Yunani dibangun di atas mitos, sajak (poetry) dan spekulasi para filsufnya, dan tidak pernah didasarkan atas wahyu atau kenabian. Sedangkan Yahudi dan Kristen (Perjanjian Lama dan Baru) telah lama terlibat aktif dalam pengembangan dan pengeditan terhadap teks sucinya. Sehingga tidak bisa lagi ditemukan keaslian otographi para pengarang Bibel secara meyakinkan. Akibatnya, kritik Bibel sebagai disiplin ilmu telah dikembangkan untuk mengkaji beberapa permasalahan teks, komposisi dan sejarah yang berkaitan dengan Perjanjian Baru dan Lama dalam rangka mendapatkan penafsiran yang lebih makna. Pada dasarnya, metode penafsiran Yahudi-Kristen meliputi dua prosedur yang saling berkaitan;
a) melampaui makna harfiah (literal meaning) teks dan menggabungkan penafsiran Bibel dalam kerangka teologi yang lebih besar (larger theological framework).
b) membentuk setelan aturan yang mengkondisikan dan mencakup barisan penafsiran dalam komunitas, kemudian berusaha melindungi identitas dan pertalian keagamaan mereka.[47]Penggunaan hermeneutika yang menghasilkan asumsi historisitas al-Qur’an dengan dalih bahwa perbuatan Tuhan bila telah teraktualisasi dalam sejarah, maka harus tunduk pada peraturan sejarah, sejatinya telah menimbulkan konsekwensi yang rumit untuk diterima akal sehat. Apakah dengan demikian Tuhan tunduk mengikuti kaedah peraturan alam yang diciptakan-Nya sendiri? Apakah kemudian wahyu dapat “diseret” untuk mengikuti kemauan realitas sejarah yang berkembang?Konsep al-Qur’an yang diuraikan Abu Zayd di atas bukan hanya bertentangan dengan pengertian al-Qur’an yang dikenal oleh umat, namun telah membubarkan konsep wahyu dalam Islam. Sebab dengan corak pemahaman ala Abu Zayd bahwa kemutlakan al-Qur’an dan sakralitasnya telah sirna dan menjadi teks manusia ketika masuk dalam pemahaman Nabi, diaplikasikan dalam kehidupan dan disampaikan kepada umatnya, akan membatalkan konsep wahyu yang dikenal dalam Islam. Semua umat Islam sepakat bahwa pengertian al-Qur’an adalah Firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara lafzhan wa ma’nan (lafazh dan maknanya) dengan perantara Jibril AS, terjaga dalam mushaf, kemudian disampaikan kepada para Sahabat dan diwariskan dari generasi ke generasi secara mutawatir (recurrence) tanpa keraguan sedikitpun. Membacanya adalah ibadah, di dalamnya terkandung berbagai mukjizat, petunjuk dan ilmu pengetahuan.Sedangkan dalam dataran epistemologis (epistemic level), Abu Zayd dan kelompok modernis lainnya yang menerapkan metode historis (historical methodology), baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, sebenarnya telah menolak sumber ketuhanan (the divine source) terhadap al-Qur’an yang mereka anggap sebagai realitas holistik (the holistic reality) yang dihasilkan dari metodologi penelitian ilmu-ilmu sains. Pernyataan Abu Zayd bahwa al-Qur’an adalah produk budaya, fenomena sejarah dan teks linguistik membawa pengertian bahwa al-Qur’an dihasilkan secara kolektif dari serangkaian faktor politik, ekonomi dan sosial. Atau dengan kata lain, al-Qur’an adalah hasil pengalaman individual yang diperoleh Nabi Muhammad dalam waktu dan tempat tertentu (specific time-space context), dimana latar belakang sejarah saat itu mengambil peranan inti dalam mewarnai pemikiran beliau dan bahasa sebagai perangkat ungkapan sejarah (expressional tool of history).[48]Memahami agama dengan cara menundukkannya dalam ruang sejarah, bahasa dan budaya yang terbatas adalah watak dasar hermeneutika yang dikembangkan oleh peradaban Barat yang tidak sejalan dengan Islam.
Ketidaksesuaian ini dapat dilihat dari beberapa unsur berikut;
Pertama: hermeneutika secara jelas menyamarkan kedudukan teks-teks suci agama; karena memang pada awalnya hermeneutika ditujukan untuk menjembatani kewibawaan dan keaslian teks Bibel yang bermasalah.
Kedua: penentuan kontekstual terhadap makna dengan mengesampingkan kemapanan bahasa dan susunan makna dalam bahasa (semantic structures), menyebabkan kosa kata dalam teks kitab suci selalu permisif untuk disusupi berbagai dugaan (guess/conjecture), pembacaan subjektif dan pemahaman yang hanya mendasarkan pada relativitas sejarah.
Ketiga: memisahkan makna antara yang “normatif” dan yang “historis” di satu sisi dan menempatkan kebenaran (truth) secara kondisional menurut budaya tertentu dan suasana historis di sisi lain, akan cenderung pada paham sekuler.[49]Oleh karena pertimbangan yang diambil pemikiran keagamaan lebih berorientasi pada Pencipta Teks (Allah), yang tidak memihak pada supremasi data empiris, maka dengan sendirinya akan ditolak oleh pendekatan kesadaran historis-ilmiah dalam memahami teks-teks keagamaan. Pendekatan kesadaran historis-ilmiah menurut Abu Zayd cenderung kepada apa yang dihasilkan oleh pembaca teks yang memiliki perangkat ilmiah kekinian untuk menjadi ‘hakim’ dalam mewarnai interpretasi teks keagamaan. Maka bagi Abu Zayd, teks bukan lagi milik pengarangnya, tapi sudah menjadi pemilik para pembacanya.
Sebagai pembaca yang menjadi hakim dalam memaknai teks, Abu Zayd menganjurkan untuk mengunci firman Tuhan dalam ruang dan waktu. Kemudian membatasi makna al-Qur’an menurut zaman tertentu dalam sejarah.[50]Dengan cara ini, pembaca teks dapat memahami teks secara ilmiah dan tidak terpasung, baik oleh pandangan dogmatis-sektarian (madzhab minded), permasalahan ideologis (iman-kufur), mistis, tabu (desakralisasi) maupun khurafat. Sebaliknya, dalam pandangan Abu Zayd, corak pendekatan ulama klasik dalam pembacaan teks, terikat dengan pendekatan asbab al-nuzul dan naskh wa mansukh adalah terpasung dan tidak ilmiah. Sebab meskipun kedua pendekatan ini juga memperhatikan data empiris, namun pada kenyataannya data empiris yang ditampilkan tersebut masih diwarnai oleh peran Pencipta Teks. Dengan demikian, kecenderungan ulama klasik yang lebih memposisikan teks agama sebagai hakim daripada akal, dipandangnya sebagai corak pendekatan ideologis.Kecenderungan Abu Zayd yang lebih mengesampingkan Sang Pembuat Teks, kemudian menjadikan pembaca teks -dengan segala kondisi sosial, politik dan budaya yang melatarbelakanginya- sebagai hakim yang menentukan arah pemaknaan teks, sebenarnya adalah bentuk pengutamaannya terhadap realitas lahiriyah (al-waqi‘ al-madi, material reality). Sebab baginya, segala aktivitas berfikir yang selalu terbayang-bayangi oleh realitas ketuhanan dan metafisika (akidah, pahala, siksa, syari’ah dan akherat) dipandang sebagai bagian dari mitos (usthurah). Maka dengan demikian Abu Zayd lebih mengutamakan realitas (al-waqi‘) daripada pikiran. Dan baginya, teks adalah hasil dari sebuah realitas. Maka setiap perubahan yang terjadi dalam realitas, menuntut perubahan dalam pembacaan teks, sampai akhirnya terjadi kesepaduan antara teks dan realitas (zaman dan tuntutannya).[51]
Sedangkan tujuan teori tafsir abu zayd yang ingin menghilangkan ideologi sektarian, justru sangat rancu. Sebab unsur ideologi dalam suatu penafsiran tidak bisa dinetralisir. Ibarat dua sisi mata uang, mengesampingkan suatu ideologi hanya akan terjebak dalam ideologi lainnya. Dengan kata lain, menolak suatu ideologi adalah ideologi itu sendiri, seperti halnya menolak kemapanan adalah menetapkan ketidakmapanan atau bentuk lain dari sebuah kemapanan.
6. Khatimah
Pendekatan hermeneutika yang membawa ruh relativisme kebenaran dan saat ini dicoba untuk diterapkan menafsirkan teks-teks keagamaan (baik al-Qur’an maupun Hadits), tidak dapat disebut sebagai bagian dari ijtihad atau pembaharuan dalam koridor khazanah keilmuan Islam. Paham relativisme berakar dari pengaruh pandangan hidup Barat yang mendominasi semua bidang kehidupan dewasa ini. Paham yang berujung pada penolakan terhadap segala pemikiran yang telah mapan ini adalah bagian dari paham post-modernisme yang selalu ingin melakukan perombakan (deconstruction). Sebab dalam relativisme, hal-hal yang paling mendasar dalam agama, -seperti kedudukan wahyu al-Qur’an, kekuatan Mushaf Utsmani, aturan hukum waris, pernikahan, larangan homoseksual dsb-, tidak luput dari dekonstruksi. Semua hukum dan ajaran agama bisa berubah sesuai dengan kondisi sosial, politik, budaya dan ekonomi yang melatarbelakangi si penafsir dan teks, seperti yang menjadi sasaran pendekatan konteks historis (historical context).
Paham relativisme tidak mengenal kaedah: “la ijtihada fi l-qath’iyyat” (tidak ada ijtihad dalam masalah yang bersifat pasti), walaupun dalam masalah ibadah dan akidah. Relativisme tafsir al-Qur’an tidak bisa disandingkan dengan karya-karya tafsir ulama mu’tabar. Sebab semua tafsir tersebut tetap merujuk pada induk yang sama, yang disepakati, yang satu, yang mapan, dan yang disetujui oleh seluruh umat Islam di manapun dan kapanpun. Sedangkan dalam relativisme, tidak ada kaedah yang pasti selain ketidakpastian itu sendiri. Maka definisi Islam yang telah mapan (established) misalnya, tetap akan dirombak, sehingga orang non-Muslim pun dapat dikatakan sebagai Muslim, dan agama selain Islam pun, juga dapat ditafsirkan sebagai Islam. Hal ini seperti pendapat Dr. Ugi Suharto dalam mendudukkan Islam liberal yang tidak bisa kategorikan dalam pemikiran maupun madzhab dalam Islam. Sebab pemikiran Islam liberal berupaya membebaskan dan ‘meliberalkan’ umat Islam dari Islam yang satu, yang disepakati, dan Islam yang sudah mapan.Al-Qur’an sebagai kitab suci mempunyai aturan dan kaedah tersendiri dari sisi penafsirannya. Karakter bahasa Arab yang unik, gramatika dan struktur kalimatnya, sastera pra-Islam, kedudukan hadits dan kaedah penafsiran ayat dengan ayat dan sebagainya senantiasa menjaga al-Qur’an untuk tidak ditafsiri secara liar.
Wallah a’lam bi al-shawab.

[1] al-’Allamah ‘Abdurrahman ibn Muhammad ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, Ed. Muhammad al-Iskandarani, (Dar al-Kutub al-’Arabi, Beirut: 2004), hal. 405[2] 1994-2001 Encyclopedia Britannica 2001, Deluxe edition CD-ROM[3] Sekedar menyebutkan contoh; Abu Zayd, Nasr Hamid, 1997, Imam Syafi`i: Moderatisme - Eklektisime - Arabisme, diterjemahkan oleh Khoiron Nahdliyyin, LKIS; Nasr Hamid Abu Zayd, 2003, Al-Qur’an, Hermeneutika dan Kekuasaan: Kontroversi dan Penggugatan Hermeneutik al-Qur’an, diterjemahkan oleh Dede Iswadi, Jajang A. Rohmana, Ali Mursyid, cetakan I, RQiS (Risearch for Quranic Studies), [huruf i pada kata “risearch” adalah seperti yang tertera dari penerbit buku], Bandung, 207 halaman; Nashr Hamid Abu Zayd: Penggagas kajian tekstualitas al-Qur’an, Menalar Firman Tuhan: Wacana Majas dalam al-Qur’an menurut Mu’tazilah, diterbitkan oleh MIZAN, dll.[4] DR. Syamsuddin Arief, (Orientalisches Seminar, Universitas Frankfurt, Jerman), Kisah Intelektual Nasr Hamid Abu Zayd, Republika, Kamis, 30 September 2004[5]http://66.102.7.104/search?q=cache:HccWv31mcMJ:en.wikipedia.org/wiki/Nasr_Abu_Zayd+nasr+hamid+abu +zayd&hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=1, 25 August 2006[6] Setelah menerima keputusan bersalah dari mahkamah, –menurut encyclopedia Wikipedia–, Komando Jihad Jama’ah Islamiyyah (The Jihad armed Islamist group, –kelompok radikal Islam yang membunuh presiden Anwar Sadat pada tahun 1981)—berpendapat bahwa Abu Zayd harus dibunuh karena telah mencampakkan akidahnya, murtad. Abu Zayd dilindungi polisi, namun ditolaknya. Akhirnya pada tanggal 23 Juli 1995, bersama istrinya terbang ke Madrid, lalu memutuskan untuk pergi ke Belanda. Di negeri ini dia diundang untuk mengajar sebagai Profesor tamu di Universitas Leiden.[7] ISIM, www.qantara.de/webcom/show_article, February 2006[8] http://66.102.7.104/search?q=cache:HccWv31-mcMJ:en.wikipedia.org/wiki/Nasr_Abu_Zayd +nasr+ hamid+abu+zayd &hl=id&gl=id&ct=clnk&cd=1, 25 August 2006[9] Penulis telah menyelesaikan satu buku tentang pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dan pengaruhnya di Indonesia. In Sya’allah akan diterbitkan oleh Gema Insani Press dalam waktu dekat.[10] Catatan Akhir Pekan ke-170; Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com, Adian Husaini, “Hasil Penelitian Departemen Agama tentang Faham Liberal Keagamaan”[11] Nasr Hamid Abu Zayd, Naqdu l-Khithab al-Dini, (Sina li l-Nashr, Kairo:1992), cetakan pertama, hal. 6. Selanjutnya disingkat Naqdu l-Khithab.[12] Dalam pengamatannya, terdapat tiga aliran utama yang mempunyai karakteristik dan pendekatan tersendiri. Pendekatan ketiga aliran tersebut meliputi, pertama: institusi keagamaan resmi negara (ittijah al-mu’assasah al-rasmiyyah li l-dawlah) yang diwakili oleh al-Azhar, kedua: pendekatan Islam Kiri (al-yasar al-Islami) yang dikembangkan oleh Hasan Hanafi, khususnya yang tertuang dalam karya besarnya “Mina l-‘Aqidah ila l-Tsawrah” dan ketiga: pendekatan golongan pencerah (al-tanwiriyyun), atau yang kerap dijuluki sebagai golongan sekuler (al-‘ilmaniyyun). Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada fasal muqaddimah dalam Naqdu l-Khithab, cetakan pertama terbitan Suna li l-Nashr.[13] Ibid, hal.8[14] Ibid, hal.8[15] Ibid, hal. 6-7[16] al-Khithab, hal. 181. Mu’tazilah adalah aliran rasionalis yang dikenal dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam. Secara harfiah nama Mu’tazilah berarti yang mengasingkan diri. Kebanyakan ahli sejarah bersepakat bahwa aliran ini bermula dari perdebatan Washil ibn Atha’ dengan gurunya al-Hasan al-Basri tentang kedudukan pelaku dosa besar, apakah dia kafir atau tetap mukmin. Perdebatan ini dipicu dengan pendapat aliran al-Khawarij yang menggolongkan pelaku dosa besar adalah kafir dan statemen al-Murji’ah yang mengatakan bahwa mereka tetap mukmin. Sedangkan imam al-Hasan al-Basri mengatakan bahwa mereka itu adalah fasiq. Sementara Washil ibn Atha’ mengatakan bahwa kedudukan mereka bukan kafir dan bukan mukmin, tetapi berada di antara dua kedudukan (al-manzilah bayna manzilatayn). Perdebatan tersebut berakhir dengan memisahkannya Washil dari halaqah gurunya dan mengasihkan diri (I’tazala) di salah satu sudut masjid Basra. Kemudian langkah Washil ini diikuti oleh beberapa orang. Sehingga pada akhirnya imam al-Hasan al-Basri mengatakan: “Washil telah mengasingkan diri dari kita (laqad i’tazala anna Washil)”. Maka semenjak itu Washil dan pengikutnya disebut Mu’tazilah. Dari berbagai sumber, di antaranya: ‘Abdul Qahir ibn Thahir ibn Muhammad al-Baghdadi, al-Farq Bayna l-Firaq, (Dar al-Turats, Kairo:t.th), hal. 40-41; al-Syahrastani, al-Milal wa l-Nihal, vol. I, (Dar al-Fikri, Beirut:t.th), hal. 52; al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah fi l-Siyasah wa l-‘Aqaid wa Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyyah, (Dar al-Fikri al-‘Arabi, t.p), hal. 124; Abu Lababah Husayn, Mawqif al-Mu’tazilah min al-Sunnah al-Nabawiyyah wa Mawathin Inhirafihim ‘anha, (Dar al-Liwa’, al-Tab’ah al-Daniyah, Riyadh: 1987), hal. 9[17] Naqd al-Khithab, hal. 9[18] ibid, hal. 185. Dikhotomi antara agama dan keagamaan seperti ini juga persis bertaburan (untuk tidak mengatakan diadopsi) dalam beberapa karya cendekiawan Indonesia, seperti Drs. Adeng Muchtar Ghazali, M.Ag, Agama dan Keberagamaan dalam Konteks Perbandingan Agama, Pustaka Setia Bandung, 2004 (232 halaman), hal. 12. Dalam catatan kaki, penulis mengutip dari Komaruddin Hidayat, Agama untuk Kemanusiaan”, dalam Andito (ed), Atas Nama Agama, Pustaka Hidayah, Bandung, 1998, hal. 41-42. Dikhotomi antara agama dan keberagamaan dengan makna semisal juga terlihat dalam karya DR. Lukman S. Thahir, MA, Studi Islam Interdisipliner: Aplikasi Pendekatan Filsafat, Sosiologi dan Sejarah, Qirtas kelompok penerbit Qalam, Yogyakarta (262 halaman), hal. 68-69[19] al-Khithab, hal. 16[20] Naqd al-Khithab, hal. 189-190[21] ibid, hal.99[22] Munir Ba‘albaki, al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary, (Dar al-‘Ilm li l-Malayin, Beirut:1995), hal. 762[23] Naqd al-Khithab, hal. 193[24] Nasr Hamid Abu Zayd, al-Tafkir fi zaman al-Takfir, dhiddu l-jahl wa l-zayf wa l-kharafah, (Maktabah Madbuli, Kairo: 2003) cetakan II, hal. 210; dan al-Khithab wa l-Ta’wil, (al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, Beirut: 2000), cetakan pertama, hal. 205.[25] Nasr Hamid Abu Zayd, al-Nashsh wa l-Sulthah wa l-Haqiqah: Iradatu l-Ma‘rifah wa Iradatu l-Haymanah, (al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, Beirut: 2000), cetakan keempat, hal. 92[26] Teks aslinya berbunyi: “Inna l-qur’an –mihwaru hadithina hatta l-ana- nashshun diniyyun tsabitun min haytsu manthuqihi, lakinnahu min haytsu yata‘arradhu lahu l-‘aqlu l-inssniy wa yushbihu “mafhuman” yafqadu shifata l-thabat, innahu yataharraku wa yata‘addadu dilalatuhu. Inna l-tsabat min sifati l-muthlaq wa l-muqaddas, amma l-insaniy fa huwa nisbiy mutaghayyirun. Wa l-qur’an nashshun muqaddasun min nahiyati manthuqihi, lakinnahu yushbihu mafhuman bi l-nisbiy wa l-mutaghayyir, ay min jihati l-insani wa yatahawwalu ila nashshin insaniyyin “yata’ansanu”. Wa mina l-dharuri huna an nu’akkida anna halata l-nashshi l-khami l-muqaddasi halatun mitafiziqiyyatun la nadri ‘anha syay’an illa ma dzakarahu l-nashshu ‘anha wa nafqahuhu bi l-dharurah min zawiyati l-insani l-mutaghayyiri wa l-nisbiy. Al-nash mundzu lahzhati nuzulihi l-ula – ay ma’a qira’ati l-nabiy lahu lahzhata l-wahyi- tathawwala min kawnihi (nashshan ilahiyyan) wa shara fahman (nashshan insaniyyan). Li annahu tathawwala mina l-tanzili ila l-ta’wil”. Lihat: Nasr Hamid Abu Zayd, Naqd al-khithab, (Sina li l-Nasyr, Kairo: 1992) cetakan pertama, hal. 93[27] ibid, hal. 93-94[28] Moch. Nur Ichwan, Meretas kesarjanaan Kritis al-Quran: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd, cetakan I, (Teraju, kelompok Mizan, Jakarta:2003), hal. 59-60[29] Nasr Hamid Abu Zayd & Esther R. Nelson, Voice of an Exile Reflections on Islam, (Connecticut/London, Praeger: 2004), hal. 174-175[30] Nasr Hamid Abu Zayd, al-Imam al-Syafi‘i wa Ta’sis al-Aidiyulujiyyah al-Wasathiyyah, (Maktabah Madbuli, Kairo:2003), cetakan III, hal. 146[31] Voice, hal. 89[32] Teks aslinya: I became more aware of homosexuality as a natural phenomenon[33]Voice, hal. 89[34] ibid, hal. 87-88[35] ibid, hal. 88[36] ibid, hal. 173. Dalam buku ini Abu Zayd menyatakan: “The solution established by the Qur’an is not the same thing as establishing plygamy. It is using polygamy as a solution to real problem in the seventh century, the problem of orphans. Polygamy was widely practiced already. So we cannot say that polygamy is Qur’anic law”.[37] Ibid, hal. 174[38] Nasr Hamid Abu Zayd, al-Mar’ah fi Khithab al-Azmah, (Dar al-Nusus, Kairo:t.th), hal. 103. Selanjutnya disingkat al-Mar’ah[39] Voice, hal. 178[40] ibid, hal. 166[41] lihat al- Thahir al-Haddad, Imra’atuna fi l-Syari’ah wa l-Mujtama’, (al-Dar al-Tunisiyyah li l-nasyr: 1992), khususnya bab Imra’atunŘ© fi l-SharŘŞ’ah (wanita kita dalam syari’ah).[42] al-Mar’ah, hal. 52-58[43] Naqd, hal. 206[44] Mawsu’ah al-Hadits al-Syarif (al-Kutub al-Tis’ah), al-Ishdar al-Tsani, 2000, Global Islamic Software Company[45] Jilani Ben Touhami Meftah, The Arab Modernists and the Qur’anic Text, (University Malaya Press, Kuala Lumpur: 2005), hal. 121. Selanjutnya disingkat The Arab Modernists[46] Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics: Hermeneutics as Method, Philosophy and Critique, (Routledge, London and New York: 1980), hal. 268[47] Ahmad Bazli Bin Shafie, A Modernist Approach to the Qur’an: A Critical Study of the Hermeneutics of Fazlur Rahman, A Thesis submitted in partial fulfilment of the requirement for the degree of doctor of philosophy in Islamic thought, (International Institute of Islamic Thought and Civilization [ISTAC], International Islamic University Malaysia [IIUM], Kuala Lumpur: 2004), belum dipublikasikan, hal. 237. Selanjutnya disebut A Modernist Approach to the Qur’an[48] The Arab Modernists and the Qur’anic Text, hal. 51[49] A Modernist Approach to the Qur’an , hal. 238[50] Voice, hal. 175. Tentang hal ini, Abu Zayd berkata: “When we take the historical aspect of that communication as divine, we lock God’s Word in time and space. We limit the meaning of the Qur’an to a specific time in history.[51] DR. Muhammad Salim Abu ‘Ashi, Min ‘Ulum al-Qur’an: Maqalatani fi l-Ta’wil, Ma‘alim fi l-Manhaj… wa rushd li l-Inhiraf, (Dar al-Bashair, Kairo: 2003), hal. 74






Salah paham mengenai Hermeneutika
Ada beberapa orang yang dengan menggebu-gebu melancarkan "perang salib" terhadap hermeneutika, dengan anggapan bahwa "ilmu" yang dianggap imporan ini akan merusak Islam dari dalam, memorakporandakan pendekatan yang sudah dikembangkan oleh sarjana Islam sendiri untuk memahami Qur'an. Orang-orang yang memakai hermeneutika untuk memahami Qur'an dianggap sebagai musuh Islam. Saat ini, di kalangan beberapa kelompok Islam, kata hermeneutika sudah masuk dalam daftar "kata kotor", menyusul sejumlah kata-kata yang lain: sekularisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi, HAM, jender, dsb. Istilah hermeneutika terdengar "najis" seperti kata "PKI" pada zaman Orde Baru dulu.
Apa sebetulnya pengertian paling elementer dari hermeneutika? Betulkah ia mengancam Islam? Apakah hermeneutika benar-benar tak dikenal dalam Islam? Benarkah hermeneutika hanya cocok untuk memahami Injil, dan tak bisa diterapkan untuk Qur'an? Apa perbedaan dan kesamaan antara hermeneutika dan ta'wil?
Inilah sejumlah pertanyaan yang layak diajukan. Tujuan artikel ini adalah untuk meluruskan "syubuhat" atau salah paham mengenai istilah hermeneutika. Sejumlah artikel dan kolom yang ditulis di majalah, jurnal, atau situs-situs tertentu yang kemudian beredar di beberapa milis mengandung banyak informasi yang simpang-siur dan salah-paham yang harus diluruskan. Amat disayangkan bahwa sejumlah salah paham ini datang dari sejumlah kalangan yang sebetulnya memiliki pendidikan yang baik serta mendapat akses yang lumayan bagus pada bacaan yang luas. Beberapa dari mereka bahkan mendapat pendidikan di Barat.


Hermeneutika, tafsir, ta'wil
Sebagai sebuah istilah, hermeneutika kedengaran serius dan mungkin "angker". Istilah ini sebetulnya memiliki makna yang sederhana saja, yaitu menafsirkan, penafsiran, tafsir. Dalam The Brill Dictionary of Religion, disebutkan bahwa istilah ini "denotes the methods of interpretation of a text", menunjuk kepada cara-cara untuk menafsirkan sebuah teks. Istilah ini berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yakni "to translate" (menerjemahkan) atau "to interpret" (menafsirkan).
Hermeneutika memang biasanya dikaitkan dengan konteks yang spesifik, yaitu menafsirkan teks-teks agama. Jadi, hermeneutika memang bukan sekedar menafsirkan teks secara umum. Meskipun demikian, hermeneutika kemudian berkembang sebagai salah satu cabang filsafat penafsiran yang berdiri sendiri yang tak berkaitan lagi secara spesifik dengan penafsiran teks agama.
Dengan demikian, istilah hermeneutika dalam pengertiannya yang elementer ini sama dengan istilah tafsir atau ta'wil. Secara kebahasaan, istilah tafsir berasal dari kata "al-fasr" yang berarti menerangkan atau mengungkap (al-bayan wa al-kashf) sebagaimana disebutkan oleh Imam Suyuti dalam Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an.
Al-Suyuti mengutip sebuah pendapat yang menarik dari al-Raghib al-Asbahani, bahwa pengertian tafsir lebih bersifat umum ketimbang ta'wil. Sebab, yang pertama biasanya dipakai dalam konteks memahami "mufradat" atau kosa-kata, sementara ta'wil lebih sering dipakai dalam konteks memahami kalimat. Menurut al-Asbahani, ta'wil bisanya dipakai dalam konteks memahami kitab-kitab yang bersifat keilahian (al-kutub al-ilahiyyah), sementara tafsir bisa dipakai dalam konteks kitab-kitab suci ataupun yang lain; jadi lebih umum sifatnya.
Al-Suyuti mengutip pula pendapat dari Abu Talib al-Taghlabi: bahwa tafsir adalah menerangkan kedudukan dan pengertian sebuah kata, baik pengertiannya yang bersifat 'hakikat' yakni denotatif, atau metaforis/alegoris alias majaz; sementara ta'wil adalah menerangkan makna yang bersifat esoteris, atau makna batin. Dengan kata lain, tafsir berkaitan dengan makna lahiriah, dan ta'wil berkenaan dengan makna batiniah.
Ini semua adalah pengertian dasar dari istilah tafsir dan ta'wil. Di sini kita bisa melihat bahwa tafsir, ta'wil dan hermeneutika memiliki pengertian yang hampir paralel, yaitu interpretasi, terutama yang berkaitan dengan teks-teks agama, atau "al-kutub al-ilahiyyah", jika memakai istilah al-Asbahani. Sebagaimana kita lihat di sini pula, kata yang dipakai adalah bersifat umum, yaitu kitab-kitab keilahian, bukan semata-mata Qur'an. Jadi, kalau kita memakai pendapat al-Asbahani ini, istilah ta'wil bisa dipakai dalam konteks kitab-kitab suci secara lebih umum. Kita, secara teoretis, bisa mengatakan ta'wil untuk Bible, Veda atau Upanishad.
Pendapat al-Asbahani ini didukung oleh fakta berikut ini. Kalangan Yahudi yang tumbuh dalam tradisi dan peradaban Islam memakai istilah tafsir untuk menyebut komentar atas Torah. Encyclopaedia of Judaica, misalnya, memuat lema yang ditulis oleh Meira Polliack di mana disebutkan bahwa terjemahan Saadiah Gaon atas "pentateuch", yakni lima kitab pertama dalam Perjanjian Lama, sebagai tafsir. Saadiah Gaon adalah seorang rabi Yahudi yang sangat terkenal dari Mesir yang wafat pada 942 M.
Istilah tafsir dalam perkembangannya memang secara spesifik dikaitkan dengan penafsiran dan pemahaman Qur'an. Al-Suyuti mengutip pendapat al-Zarkashi, pengarang "Al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an", sebagai berikut: tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, untuk menerangkan maknanya, serta mengeluarkan hukum-hukum dan kebijaksanaan dari dalamnya. Menurut al-Zarkashi, sumber-sumber tafsir bisa berasal dari leksikografi ('ilm al-lughah), nahw (tata bahasa Arab), morfologi (tashrif), semantik ('ilm al-bayan), ushul fiqh (teori hukum Islam), ilmu bacaan (qira'at).
Dengan kata lain, inti tafsir adalah menerangkan Kitab Suci. Sekali lagi, di sini ada kesejajaran antara hermeneutika dalam pengertiannya yang elementer dengan istilah-istilah yang sudah dikenal dalam Islam, yaitu tafsir dan ta'wil.
Adalah sama sekali keliru jika kita mengira bahwa antara tafsir, ta'wil dan hermeneutika tak ada kaitan apapun dari segi pengertian dasarnya. Secara sederhana kita bisa mengatakan bahwa ta'wil atau tafsir adalah istilah Arab untuk hermeneutika, sebagaimana al-daulah, misalnya, adalah istilah Arab untuk kata "state" (negara) dalam bahasa Inggris. Sudah tentu, ketiga kata itu memiliki sejarahnya masing-masing. Kata "al-daulah" tentu memiliki sejarahnya sendiri dalam bahasa Arab, begitu pula kata "state". Namun, itu bukan berarti bahwa kita tak bisa menerjemahkan kata "state" dalam bahasa Inggris dengan "al-daulah" dalam bahasa Arab hanya gara-gara kedua istilah itu memiliki sejarah masing-masing yang panjang. Ini berlaku pula untuk kata ta'wil dan hermeneutika.
Perkembangan hermeneutika
Saya akan mecoba mengulas secara ringkas perkembangan pengertian hermeneutika dalam tradisi kesarjanaan Barat. Saya memakai sebuah buku pengantar berjudul The Hermeneutics Reader yang disunting oleh Kurt Mueller-Vollmer, terbit 2006. Mueller-Vollmer menulis pengantar yang sangat panjang dan cukup baik mengenai perkembangan hermeneutika dalam tradisi Barat.
Sebagaimana saya tunjukkan di atas, kata ini memiliki pengertian dasar "menafsirkan", to interpret. Istilah ini terkait dengan nama Hermes, seseorang yang dipercayai sebagai "utusan" tuhan dalam masyarakat Yunani. Nama Hermes dalam tradisi Islam juga dikaitkan dengan figur Nabi Idris. Tugas Hermes adalah membawa pesan dari tuhan kepada manusia. Untuk melaksanakan fungsi itu, Hermes harus memenuhi syarat pokok: memahami pesan tuhan serta tahu bagaimana menyampaikannya kepada manusia sesuai dengan bahasa mereka. Peran Hermes kira-kira sama dengan seorang penerjemah, interpreter, yang harus menguasai bahasa asal dan bahasa tujuan sekaligus. Dari nama Hermes inilah lahir istilah hermeneutika. Dengan demikian, hermeneutika kira-kira adalah ilmu atau cara untuk menafsirkan sesuatu.
Perkembangan penting dalam sejarah hermeneutika di Barat terjadi saat pecah Reformasi Protestan pada abad 16. Kaum pembaharu Protestan yang menentang gereja Vatikan mengembangkan doktrin yang menarik yang disebut dengan "perspicuitas", artinya bahwa Kitab Suci, yakni Bible, sudah cukup terang dan mencukupi-untuk-dirinya-sendiri untuk dipahami oleh seorang beriman, tanpa bantuan otoritas gereja Vatikan. Prinsip ini terkait dengan istilah lain yang sudah kita kenal selama ini, yaitu sola scriptura, bahwa Kitab Suci sudah cukup tanpa bantuan tradisi gereja Katolik.
Gerakan kaum reformis Protestan ini mengingatkan kita pada paham kaum pembaharu Islam yang dikenal sebagai kaum Salafi. Gerakan mereka disebut salafiyah. Gerakan ini dicirikan antara lain oleh semboyan: kembali kepada Qur'an dan hadis (al-ruju' ila al-kitab wa 'l-sunnah). Gerakan ini menganjurkan umat Islam untuk kembali langsung kepada Qur'an dan hadis, tanpa melewati tradisi mazhab empat yang dikenal selama ini di kalangan umat Islam "tradisional". Bagi mereka, Qur'an dan hadis sudah mencukupi, jelas dan terang. Ini hampir sejajar dengan prinsip perspicuitas yang dikembangkan oleh penggerak reformasi Protestan. Asumsi yang mendasari gerakan-gerakan reformasi ini adalah bahwa Kitab Suci tertutup oleh tradisi penafsiran yang berkembang cukup lama, sehingga untuk menghayati semangat asli Kitab Suci, umat harus "membuang" tradisi yang dianggap mengotori kesucian Kitab Suci tersebut. Dalam konteks Islam, yang dimaksud tradisi di sini biasanya adalah tradisi bermazhab.
Salah satu tokoh penting dalam tradisi hermeneutika semasa Reformasi Protestan adalah Matthias Flacius Illyricus yang menulis karya berbahasa Latin, Clavis Scripturae Sacrae, terbit pada 1567 M. Dalam buku ini, Flacius mengembangkan dua pokok argumen. Pertama, bahwa gereja tak boleh memaksakan suatu tafsir tertentu tentang Bible, dengan alasan bahwa Kitab Suci belum bisa dipahami dengan tepat oleh umat Kristen, dan karena itu bantuan gereja dibutuhkan. Dengan latihan dan pendidikan yang memadai, menurut Flacius, Kitab Suci dapat dipahami dengan baik oleh umat secara lebih luas, tidak dimonopoli oleh gereja. Kedua, bahwa Kitab Suci mengandung koherensi dan kontinuitas internal, sehingga siapapun, dengan menggunakan alat tertentu, bisa memahami Kitab Suci, tanpa bantuan gereja (Bdk. teori munasabah dalam sejarah tafsir Qur'an). Argumen kedua ini paralel dengan apa yang dikemukakan oleh Melanchthon dan Martin Luther, penggerak utama Reformasi Protestan. Dengan dua argumen ini, Flacius mengembangkan suatu tradisi hermeneutika atau penafsiran Bible yang independen dari otoritas gereja.
Lagi-lagi, di sini kita melihat kesejajaran antara semangat Reformasi Protestan dan Gerakan Salafiyah dalam Islam. Dalam gerakan Salafiyah, dikembangkan suatu tradisi penafsiran Qur'an yang kurang lebih independen dari tradisi mazhab. Inilah yang menjelaskan kenapa dalam keputusan-keputusan majlis tarjih Muhammadiyah, misalnya, rujukan kepada Kitab Kuning yang memuat khazanah tradisi bermazhab sama sekali kurang, atau malah tak ada sama sekali. Dengan kata lain, Muhammadiyah yang diilhami oleh gerakan Salafiyah Rashid Ridha di Mesir mengembangkan tradisi "hermeneutika" yang berbasis langsung pada Qur'an dan sunnah. Kalau sekarang ini intelektual Muhammadiyah yang penting seperti Dr. Amin Abdullah, rektor UIN Sunan Kalijaga Yogykarta, dengan bersemangat menyambut hermeneutika, maka hal itu sama sekali tak aneh. Semangat Muhammadiyah dari awal adalah paralel dengan gerakan Reformasi Protestan yang mendasarkan diri pada prinsip perspicuitas, kembali kepada Qur'an dan hadis, sola scriptura.
Ini adalah perkembangan awal hermeneutika dalam tradisi Barat pasca Reformasi. Di sana terlihat bahwa pertama-tama, hermeneutika dikembangkan sebagai alat untuk menantang otoritas gereja yang memonopli tafsir atas Bible, persis seperti gerakan Salafiyah yang memakai semboyan "kembali kepada Qur'an dan hadis" untuk menantang monopoli tradisi mazhab.
Tetapi, perkembangan berikutnya bergerak lebih jauh lagi. Hermeneutika sudah bukan lagi semata-mata sebagai cara untuk menafsirkan Bible, tetapi bidang filsafat tersendiri yang independen. Inilah yang disebut dengan hermeneutika modern. Ada tiga hal penting yang membentuk hermeneutika modern: perkembangan dalam filologi klasik, jurisprudensi (artinya tafsir atas hukum, atau teori tafsir hukum; dalam Islam disebut ushul fiqh), dan filsafat. Perkembangan filologi terkait dengan studi atas naskah-naskah kuno yang berasal dari Yunani. Bersamaan dengan Reformasi Protestan, Eropa menyaksikan kebangkitan kajian atas naskah-naskah kuno dari Yunani dan Romawi. Kajian ini menimbulkan suatu cabang ilmu baru, yakni ilmu untuk menafsirkan dan memahami teks-teks kuno. Itulah filologi.
Pada saat itu tumbuh pula minat yang besar untuk mengkaji hukum Romawi. Perkembangan ini juga sangat mempengaruhi tradisi hermeneutika modern. Salah satu buku penting yang lahir dari periode itu adalah karya Constantius Rogerius, Treatise Concerning the Interpretation of Law, terbit 1463 M. Usaha pokok Rogerius adalah untuk melakukan harmonisasi atau penyelarasan atas hukum warisan Kaisar Justinian. Usaha Rogerius ini kira-kira sejajar dengan usaha Ibn Rushd yang mensistematisasi mazhab Maliki, atau Maimonides yang mensistematisasi tradisi hukum rabi dalam agama Yahudi, rabbinical laws, atau halakhah.
Perkembangan dalam bidang filsafat juga berperan besar dalam terbentuknya tradisi hermeneutika modern. Bahkan perkembangan dalam sektor inilah dapat kita katakan memainkan peran yang paling penting. Ambisi para filsuf Eropa pada abad 17, 18 dan 19 adalah ingin mensistematisasikan ilmu-ilmu kemanusiaan secara koheren dan lengkap sebagai bidang yang berdiri sendiri.
Salah satu perkembangan penting dalam hermeneutika modern adalah terbitnya buku karya Chladenius (m. 1759 M), Introduction to the Correct Interpretation of Reasonable Discourses and Books (Pengantar untuk Interpretasi yang Tepat atas Ujaran Yang Masuk Akal dan Buku), terbit pada 1742 M. Apa yang dilakukan oleh Chladenius dalam buku ini bukan meletakkan landasan interpretasi yang berlaku untuk Bible, tetapi interpretasi yang berlaku secara umum. Chladenius menyebut istilah "Auslegekunst" (dalam bahasa Jerman) yang artinya adalah seni menafsir. Saya akan kutipkan baris yang penting dari Mueller-Vollmer sebagai berikut:
Since "to be understood" was in the nature of an utterance, Chladenius defined hermeneutics as the art of attaining the perfect or complete understanding of utterances (vollstandiges Verstehen)*--whether they be speeches (Reden) or writings (Schriften).
Artinya: Karena "untuk dapat dipahami" adalah watak dari segala ujaran, Chladenius mentakrifkan hermeneutika sebagai seni untuk memperoleh pemahaman yang sempurna dan lengkap mengenai ujaran-ujaran--baik ujaran lisan atau tulisan.
Salah satu prinsip terkenal yang diutarakan Chladenius dalam karyanya ini adalah apa yang disebut sebagai "Sehe-Punckt" atau teori sudut pandang. Menurut teori ini, jika ada dua laporan berbeda tentang fakta sejarah yang sama, maka hal itu bukan berarti ada kontradiksi antara keduanya. Perbedaan terjadi, menurut dia, karena adanya perbedaan sudut pandang. Setiap manusia, dalam pandangan dia, melihat peristiswa di sekelilingnya sesuai dengan sudut pandangnya sendiri.
Pandangan ini dipinjam oleh Chladenius dari karya filosof terkenal Yahudi, Leibniz, Optics. Ada kemungkinan pula, Chladenius dipengaruhi oleh karya Leibniz yang lain, Monadology. Dalam karya terakhir itu, Leibniz antara lain mengutarakan bahwa masing-masing monad, atau wujud dalam dunia ini, mempersepsi alam raya yang sama, tetapi dari sudut pandang yang berbeda-beda. Inilah yang belakangan antara lain melahirkan suatu teori mengenai perspektivalisme, yakni bahwa ada banyak kebenaran sesuai dengan masing-masing sudut pandang yang dimiliki oleh pihak yang berbeda-beda.
Demikianlah, hermeneutika terus berkembang dengan pesat, seturut dengan perkembangan paham-paham filsafat di Eropa. Sejumlah tokoh yang meninggalkan "sidik jari" yang menonjol adalah Friedrich Schleiermacher, Wilhelm von Humboldt, Johann Gustav Droysen, August Boeckh, Wilhelm Dilthey, Edmund Husserl, Roman Ingarden, Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, dan terakhir Jurgen Habermas yang masih hidup hingga saat ini.
Nama Schleiermacher cukup penting diulas sedikit karena ia telah memberikan sumbangan yang sangat penting dalam tradisi hermeneutika modern. Sumbangan Schleiermacher merupakan "watershed" atau titik balik yang penting. Schleiermacher dikenal karena mengajukan konsep mengenai "pemahaman" atau Verstehen, sebelum Dilthey. Hermeneutika dalam pandangan Schleiermacher bukan sekedar menerangkan sesuatu yang samar dalam ujaran, atau al-kashf wa al-bayan dalam istilah al-Suyuti, tetapi, "above all concerned with illuminating the conditions for the possibility of understanding and its modes of interpretation." (Kutipan dari Mueller-Vollmer)
Kalimat ini tak mudah dimengerti dengan sederhana kecuali bagi mereka yang terbiasa dalam studi filsafat. Kira-kira kalimat itu berarti: hermeneutika berkenaan dengan usaha menerangkan syarat-syarat kemungkinan untuk memahami, dan cara-cara untuk menafsirkannya. Dengan kata lain, obyek pokok hermeneutika bukan lagi sekedar menerangkan dan membuka rahasia kode-kode tekstual, tetapi pemahaman itu sendiri sebagai pengalaman manusia, bagaimana itu mungkin, serta bagaimana pula menafsirkannya.
Salah satu sumbangan penting Schleiermacher adalah bahwa pemahaman selalu terkait dengan aspek bahasa. Inilah yang disebut dengan "linguistikalitas" atau kemembahasaan dalam kegiatan pemahaman. Setiap aktivitas memahami tak bisa dipisahkan dari aspek bahasa. Tentu bukan tempatnya di sini saya mengulas seluruh teori yang dikembangkan oleh para filsuf yang memberikan kontribusi penting dalam pembentukan hermeneutika modern. Ini hanyalah sekedar "kelebatan" untuk memberikan isyarat kepada pembaca.
Kesimpulan yang penting adalah bahwa hermeneutika, meskipun berawal sebagai cara untuk menafsir Kitab Suci atau Bible, tetapi perkembangan belakangan memperlihatkan bahwa ia bergerak secara independen sebagai ilmu atau seni menafsir yang berlaku secara umum. Perkembangan hermeneutika saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh teori-teori baru dalam filsafat ketimbang oleh kajian Bible. Yang terjadi justru sebalinya: perkembangan penafsiran atas Bible lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan dalam filsafat. Inilah yang menjelaskan kenapa saat ini muncul hermeneutika feminis atau penafsiran Bible berdasarkan perspektif perempuan, misalnya; disebut "feminist hermeneutics".
Para penulis Muslim yang melakukan "perang salib" atas hermeneutika jelas keliru sama sekali ketika mengatakan bahwa menerapkan hermeneutika dalam studi Qur'an sama saja dengan menerapkan teori tafsir Bible terhadap Kitab Suci umat Islam itu.
Sebagaimana kita lihat sendiri, hermeneutika sudah berdiri sendiri sebagai bidang yang otonom. Penafsiran Bible justru sekarang banyak dipengaruhi oleh hermeneutika yang berkembang di luar kajian Alkitab. Nama-nama besar dalam perkembangan hermeneutika modern, seperti Gadamer, Heidegger, Dilthey, dan Habermas sama sekali tak terkait dengan perkembangan kajian Alkitab.
Salah paham yang lain adalah bahwa hermeneutika oleh sebagian kalangan sarjana Muslim Indonesia diidentikkan dengan pendekatan dalam studi Bible yang dikenal sebagai biblical criticism, atau kajian atas bentuk-bentuk literer Bible untuk melacak kronologi penulisannya. Memang sejarah hermeneutika antara lain dibentuk melalui tradisi filologi yang menjadi dasar dari kritisisme biblikal. Tetapi, sebagaimana sudah saya tunjukkan di atas, perkembangan hermeneutika tidak semata-mata dibentuk oleh filologi, tetapi terutama oleh paham-paham dalam filsafat. Di benak para pengkritik hermeneutika itu terdapat pra-anggapan yang jelas keliru bahwa menerapkan hermeneutika akan berujung dengan penerapan metode yang dipakai John Wansbrough yang kontroversial itu dalam studi Qur'an. Ini jelas kesalahpamahan yang fatal. Dalam diskusi mengenai hermeneutika Qur'an saat ini, kajian Wansbrough justru sama sekali tidak diperhitungkan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan dari hermeneutika.
Mungkinkah meminjam hermeneutika?
Beberapa penulis Muslim menolak keras hermeneutika karena dianggap sebagai metode penafsiran yang tidak pas dengan Qur'an. Menurut mereka, sarjana Islam mengembangkan tradisi tafsir sendiri yang lebih sesuai dengan Qur'an. Memakai hermeneutika dalam memahami Qur'an akan merusak integritas Kitab Suci umat Islam itu. Bahkan ada sebagian yang berpandangan bahwa hermeneutika akan merusak Islam dari dalam.
Apakah betul pandangan seperti itu? Marilah kita periksa asumsi-asumsi yang dipakai oleh para pengkritik hermeneutika itu.
Asumsi pertama: tampak ada semacam pandangan bahwa antara hermeneutika dan tafsir/ta'wil sebagaimana dikenal dalam studi Qur'an sama sekali tak ada kemungkinan titik temu. Ini jelas salah sama sekali. Seperti kita lihat dalam penjelasan di atas, teori Schleiermacher tentang pentingnya aspek bahasa dalam penafsiran dan pemahaman suatu ujaran jelas bertemu dengan pandangan para penafsir Qur'an yang dengan tegas menekankan pentingnya "konvensi bahasa" (al-wadh' al-lughawi) dalam penafsiran. Tafsir tidak bisa bergerak bebas menabrak aturan-aturan kebahasaan. Tentu pada tingkat renik-renik bisa terjadi perbedaan, tetapi pada level teori besarnya, ada kesejajaran antara perspektif Schleiermacher mengenai kemembahasaan pemahaman dengan pandangan mufassir Islam.
Asumsi kedua: apa yang disebut sebagai metode tafsir atau ta'wil dalam memahami Qur'an seolah-olah monolitik atau tunggal. Para pengkritik hermeneutika sering mengatakan bahwa penafsiran Qur'an memiliki metodenya sendiri yang lebih "pribumi". Pernyataan yang sifatnya umum ini jelas mengandung generalisasi yang mengelabui pandangan para pembaca awam yang tak membaca dengan baik keragaman metode penafsiran Qur'an.
Sebagaimana kita ketahui, dalam penafsiran Qur'an terjadi pertengakaran yang tak kalah hebat antara para penafsir Qur'an. Sejumlah tafsir yang ditulis oleh ulama klasik dianggap "sesat" karena memakai pendekatan yang dianggap tidak-orotodoks. Contoh yang terkenal adalah tafsir Al-Kashshaf karya al-Zamakhshari yang meskipun dibaca luas tetapi selalu "dicurigai" karena dianggap membawa pandangan kaum Mu'tazilah. Tafsri kaum batiniyyah atau mereka yang memakai pendekatan esoteris juga sering dikritik sebagai penyimpangan.
Apa yang disebut sebagai "tafsir" dalam tradisi Islam dalam kenyataannya adalah wilayah yang lentur, fluid, cair, dan fleksibel. Tidak ada metode tafsir yang tunggal dalam Islam. Bahkan sejak awal, kegiatan penafsiran Qur'an sudah menjadi semacam "kuda troya" untuk menyelundupkan pandangan-pandangan teologis-filosofis para penafsirnya. Oleh karena itu, bukan rahasia lagi jika seorang penafsir memiliki kecenderungan Ash'ariyyah atau Maturidiyyah, maka dalam menafsirkan Qur'an ia akan memakai cara pandang Ash'ari dan Maturidi. Jika seorang penafsir memiliki kecenderungan mistik, ia akan memakai tasawwuf dalam memahami sejumlah ayat dalam Qur'an. Kalau dia seorang Shi'ah, tentu ia akan menafsirkan Qur'an dengan memakai sudut pandang sekte itu. Demikianlah seterusnya.
Begitu pula kita saksikan bahwa perkembangan corak tafsir akan makin beragam. Semakin jauh dari periode Nabi, semakin beragam pula corak tafsir yang berkembang. Ini hal yang lumrah saja. Karena ilmu berkembang terus, maka pendekatan tafsir juga berkembang. Sebab tafsir tak pernah mengenal metode yang baku. Ketika dalam masa-masa belakangan berkembang filsafat Islam yang dipengaruhi oleh ide-ide neo-platonisme, maka lahir pula corak tafsir yang dipengaruhi oleh filsafat itu, seperti dilakukan oleh Ibn Sina saat menafsirkan sebuah ayat dalam Surah al-Nur mengenai cahaya Tuhan (baca misalnya risalah dia, Risalah fi Ithbat al-Nubuwwat).
Saya hendak bertanya kepada para "pembenci" hermeneutika: bisakah anda menyebutkan kepada saya apa yang dimaksud dengan metode tafsir Qur'an? Apakah ada metode tafsir baku yang berlaku dari zaman klasik sampai kiamat? Apakah yang anda maksud dengan metode tafsir "Islami" adalah metode yang dipakai dalam tafsir bercorak kebahasaan (al-tafsir al-lughawi), atau tafsir fiqhi, kalami, shufi, balaghi? Apakah tafsir bi 'l-naql atau bi 'l-ra'y? Apakah tafsir a la ahl al-hadis atau kalam?
Sejujurnya, setiap kegiatan tafsir selalu "dikendalikan" oleh pandangan-pandangan yang dibawa penafsirnya. Di sini letak relevansi salah satu teori hermenetika, yaitu bahwa sudut pandang penafsir sangat mempengaruhi penafsiran. Jika seseorang memiliki pandangan keagamaan yang fundamentalistis, ia akan menafsirkan Qur'an sesuai dengan pandangannya itu, seperti kita lihat dalam tafsir karya Sayyid Qutb.
Penolakan atas hermeneutika sebetulnya bukan didorong oleh alasan yang secara formal dikatakan oleh para pengkritiknya itu. Misalnya, karena Qur'an memiliki metode penafsiran sendiri. Kalau mau jujur, sebetulnya mereka tahu sejak awal bahwa apa yang disebut dengan "metode tafsir Qur'an" itu tidak pernah jelas batas-batasnya. Seperti saya tunjukkan di atas, tafsir Qur'an selalu menjadi wahana untuk mengusung sejumlah ideologi dan doktrin yang berbeda-beda. Itu terjadi sejak dahulu kala. Tafsir Qur'an juga selalu berkembang dari waktu ke waktu.
Apa sebetulnya motif pokok mereka?
Mereka sebetulnya khawatir jika teori hermeneutika diterapkan, monopoli mereka terhadap penafsiran Qur'an akan tergerogoti. Mereka ingin "mengunci" Qur'an dalam tafsiran tertentu. Semangat yang mendasari para pengkritik hermeneutika ini persis dengan semangat gereja Vatikan dulu yang anti perubahan. Cara paling ampuh dan "cespleng" bagi kaum konservatif di mana-mana adalah dengan mengesankan seolah-olah Kitab Suci hanya memiliki satu "suara" saja, yaitu suara mereka sendiri. Jika ada yang menggugat suara mereka itu, langsung keluar tuduhan bahwa hal itu bertentangan dengan Qur'an.
Sebagaimana dikatakan oleh sahabat Ali, Qur'an adalah "hammalun dzu wujuh", kitab suci yang mengandung banyak kemungkinan tafsir. Para pengkritik hermeneutika biasanya akan mengatakan bahwa memang benar Qur'an mengandung keragaman tafsir. Tetapi keragaman itu harus dibatasi oleh kaidah dan batas-batas tertentu. Pertanyaan saya: batas-batas itu siapa yang menentukan? Dan apa yang disebut batas-batas penafsiran? Bukankah batas-batas itu sebetulnya alat saja di tangan kaum "ortodoks" untuk memonopoli tafsir?
Jadi, apakah hermeneutika bisa dipinjam dalam memahami Qur'an?
Pertanyaan ini sebetulnya merupakan bagian dari pertanyaan yang lebih besar lagi: apakah metode penafsiran Qur'an bisa terus dikembangkan? Jawabannya tentu ya. Sejarah penafsiran Qur'an sendiri memperlihatkan perkembangan metode tafsir yang sangat kaya. Kalangan yang mengkritik hermeneutika sebetulnya menyukai metode tafsir baru yang tak ada dalam sejarah penafsiran klasik, yaitu al-tafsir al-'ilmi, atau tafsir saintifik yang biasanya berisi usaha mencocok-cocokkan ayat-ayat Qur'an dengan penemuan sains modern. Mereka tak pernah keberatan dengan metode "baru" ini, karena dengan demikian akan tampak bahwa Qur'an telah mendahului ilmu pengetahuan modern. Bagaimana mereka bisa menerima metode tafsir baru seperti ini seraya menolak metode baru lainnya, yaitu hermeneutika? Apakah kriteria yang mereka pakai untuk menerima yang satu dan menolak yang lain?
Kita menjumpai sejumlah inkonsistensi dalam cara berpikir para pengkritik hermeneutika itu. Sikap dasar mereka sebetulnya jelas: konservatisme dan ingin memonopoli Qur'an sebagai hak tunggal mereka. Qur'an harus dipahami dengan cara tertentu. Itulah motif pokok penolakan mereka.
Dengan kata lain, penolakan ini adalah bagian dari cara kerja ortodoksi Islam untuk melindungi kekuasan tafsirnya sendiri. Akibat praktis dari mindset seperti ini, seperti kita tahu, adalah gejala mudahnya kelompok ortodoks Islam menyesatkan paham atau golongan yang dianggap berlawanan dengan tafsiran mereka.
Hermeneutika sebagai metode tafsir tidak seharusnya diperlawankan dengan tafsir. Tentu tidak semua hal dalam teori hermeneutika bisa diterapkan dalam Qur'an. Sebagaimana setiap bentuk "apropriasi" metode, selalu dibutuhkan usaha pempribumian, sebagaimana para filsuf Islam dulu melakukan pribumisasi atas filsafat Yunani. Semangat positif yang hendak dikumandangkan oleh hermeneutika adalah ajakan untuk menyambut keragaman tafsir dengan dada terbuka, bukan dengan muka yang bersungut-sungut dan cemberut.
Wa 'l-Lahu a'lam bi 'l-shawab.


Qur’anic Studies Series. Oxford: Oxford University Press in association with The Institute of Ismaili Studies, 2006
Synopsis
This is the first major study in a Western language of Rashid al-Din Maybudi’s Persian commentary on the Noble Qur’an, Kashf al-asrar wa ‘uddat al-abrar (Unveiling of Mysteries and Provision of the Righteous). The book explores how hermeneutics and doctrine interact in the writing of a Sufi commentary on the Qur’an and introduces an important Persian tafsir to new audiences.
Previously little known outside the Persian-speaking world, Maybudi’s Kashf al-asrar is today recognised as a work of considerable significance not only for an understanding of the development of Sufi hermeneutics, but also as a treasury of Sufi lore; the extensive esoteric sections of the commentary, which cover over a thousand pages, contain countless sayings and anecdotes of important figures in Islamic mysticism as well as detailed expositions of the doctrines of Sufism. Commenced in 520/1126 CE during one of the most exciting periods in Sufism’s history, the Kashf al-asrar is based on, and probably embodies, the only surviving text of an earlier Qur’an commentary by the famous Hanbali mystic, ‘Abd Allah al-Ansari (d. 481/1089 CE). Extant in over fifty manuscripts, the Kashf al-asrar may be counted among the most popular Persian tafsirs. Moreover, the emerging doctrines and poetic language of love-mysticism manifested in the text were to become essential elements in later Persian Sufi literature, influencing the style and content of Kamal al-Din Wa‘iz Kashifi’s (d. 910/1504 CE) Mawahib ‘Aliyya in Persian and Isma‘il Haqqi Burusawi’s (d. 1137/1724 CE) Ruh al-bayan in Arabic.
In her detailed analysis of the Kashf al-asrar, Annabel Keeler explores the way in which hermeneutics and doctrine interact in a Sufi commentary on the Qur’an. Like earlier works in the field of Sufi exegesis, such as those by Louis Massignon, Henri Corbin, Paul Nwyia, Gerhard Böwering and Pierre Lory, her study pays close attention to the relationship between Qur’anic word, mystical experience and the language of interpretation. It views language with regard not only to the evolving terminologies for the exposition of mystical experience, but also to the context of an emerging literary language which, in the early twelfth century, was becoming indispensable to the expression of the doctrines of mystical love. Thus, the study considers the way in which Sufi exegesis may reflect a particular spiritual ‘ethos’ as well as the mystical experience of the commentator.
The study begins with a general introduction to the Kashf al-asrar, its author and the intellectual climate out of which it emerged (chapter one). The main body of the book is divided into three parts. The first part (chapters two and three) offers an analysis of the hermeneutics of the Kashf al-asrar, taking hermeneutics to mean the theory, criteria, aims and method of Qur’an interpretation. Chapter two examines the overall hermeneutics of the Kashf al-asrar, on the basis of Maybudi’s own statements and the text itself, and considers in particular his reasons for combining exoteric and esoteric interpretations in one work and writing his commentary in Persian. Chapter three explores the mystical hermeneutics of the Kashf al-asrar, beginning with a discussion of theories of levels of meaning in the Qur’an and their possible connection to other traditions of scriptural interpretation. It takes advantage of Maybudi’s juxtaposition of exoteric and esoteric interpretations in the Kashf al-asrar, and, by contrasting his Nawbat II and Nawbat III commentaries on a particular passage of the Qur’an, attempts to define more precisely the hermeneutics of mystical interpretation. The chapter ends with an examination of the method and procedure of mystical interpretation, drawing examples from Qushayri’s Lata’if al-isharat as well as from the Kashf al-asrar itself.
The second part of the study (chapters four to seven) examines the mystical doctrines in the Kashf al-asrar. Chapter four provides a general background to Sufism in Maybudi’s time, focusing in particular on the development of love-mysticism. It then presents an overview of the principal mystical teachings of the Kashf al-asrar and discusses their relationship with the doctrines of ‘Abd Allah al-Ansari. Chapter five looks at what might be called Maybudi’s ontology and cosmology, i.e., his discussion of God and creation, the Muhammadan Light, the creation of Adam, his ‘fall’ and the Covenant of Alast. Chapter six explores various aspects of spiritual guidance presented in the Kashf al-asrar, including Maybudi’s ‘spiritual psychology’, his teachings on the inner constitution of the human being, spiritual states and stations, spiritual hierarchies and different approaches to the mystical path. Chapter seven looks more closely at the mystical theology of the Kashf al-asrar and its integration with the doctrines of the mystical way of love.
The third part of the study (chapters eight to ten) shows how Maybudi conveys these teachings through his mystical interpretations of the stories of the prophets Abraham, Moses and Joseph, whose stories have always held particular interest for Sufis. These examples enable the reader to see how Maybudi portrays the prophets as prototypes of the spiritual wayfarer and interprets events in their lives as states and stations on the Sufi path.
Throughout the book, the subtleties and complexities of Sufi hermeneutics and doctrine are clearly explained with reference to other relevant Sufi literature and illustrated with appropriate material from the Kashf al-asrar. With the numerous passages selected and translated from Maybudi’s vast commentary for the first time, readers can not only become acquainted with the spirit of this important work of Sufi exegesis, they can also gain a deeper insight into the doctrines and language of later Sufi literature.
















Apakah Al-Qur'an Memerlukan Hermeneutika?
Tuesday, 09 September 2003 17:25
Dalam seminar di UMY, (10/4/03) lalu, panelis, Dr. Ugi Suharto secara tegas menolak aplikasi 'hermeneutika' untuk tafsir al-Quran. Saat itu pendukung 'hermeneutika' adalah Dr. Amin Abdullah. Inilah pendapatnya Oleh Dr. Ugi Suharto *)

Hermeneutika, yang meminjam perkataan Inggris hermeneutics, dan yang juga berasal dari perkataan Greek hermeneutikos bukan merupakan suatu istilah netral yang tidak bermuatan pandangan hidup (world-view; weltanschauung). Apabila perkataan ini dikaitkan dengan al- Qur'an, ataupun dengan Biblical Studies, arti hermeneutika telah berubah dari pengertian bahasa semata menjadi istilah yang memiliki makna tersendiri. Oleh sebab itu, sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai hermeneutika al-Qur'an, lebih baik kita bahas dahulu perbedaan arti bahasa (linguistic meaning) dan arti istilah (technical meaning) hermeneutika itu sendiri. Dari segi bahasa misalnya Aristotle pernah menggunakan perkataan itu untuk judul karyanya Peri Hermeneias yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Latin sebagai De Interpretatione yang lantas dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai On the Interpretation.

Namun, jauh sebelum terjemahan dalam bahasa Latin, al-Farabi (w. 339/950), seorang ahli filsafat Muslim terkemuka, telah menerjemahkan dan memberi komentar karya Aristotle itu terlebih dahulu ke dalam bahasa Arab dengan judul Fi al-'Ibarah.

Aristotle sendiri ketika menggunakan perkataan hermeneias tidak bermaksud mengemukakan arti istilah seperti yang berkembang di zaman modern kini. Hermeneias yang dia kemukakan, menyusuli karyanya Kategoriai, sekedar membahas peranan ungkapan dalam memahami pemikiran, dan juga pembahasan tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda (noun), kata kerja (verb), kalimat (sentence), ungkapan (proposition), dan lain-lain yang berkait dengan tata bahasa. Ketika Aristotle membicarakan hermeneias, dia tidak mempermasalahkan teks atau membuat kritikan terhadap teks. Jadi topik yang dibahas oleh Aristotle adalah mengenai bidang interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan itu. Dari segi bahasa, al-Farabi sangat tepat mengalihbahasakan hermeneuias sebagai 'ibarah yang memberi konotasi ungkapan bahasa dalam menunjukkan makna-makna tertentu. Begitulah pengertian hermeneutika yang pada asalnya hanya merujuk kepada makna bahasanya semata.

Perpindahan makna hermeneutika dari pengertian bahasa kepada pengetian istilah merupakan satu perkembangan kemudian. Sumber-sumber perkamusan sepakat bahwa peralihan makna istilah itu dimulai dari usaha para ahli teologi Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang secara kritis teks-teks dalam kitab suci mereka. Sebuah kamus filsafat, misalnya, menyatakan:

Hermeneutics. . . .Originally concerned more narrowly with interpreting sacred texts, the term acquired a much broader significance in its historical development and finally became a philosophical position in twentieth century German philosophy.

Sebuah thesis Ph.D. mengenai hermeneutika juga menyatakan hal itu:

Originally, the term 'Hermeneutics' was employed in reference to the field of study concerned with developing rules and methods that can guide biblical exegesis. During the early years of the nineteenth century, 'Hermeneutics' became 'General Hermeneutics' at the hands of philosopher and Protestant theologian Friedrich Schleiermacher. Schleiermacher transformed Hermeneutics into a philosophical field of study by elevating it from the confines of narrow specialization as a theological field to the higher ground of general philosophical concerns about language and its understanding.

Jadi istilah 'hermeneutika' kemudian telah beralih makna dari sekedar makna bahasa, menjadi makna teologi, dan kini menjadi makna filsafat. Menarik untuk menelusuri sedikit latar belakang mengapa hermeneutika digunakan oleh para teolog Yahudi dan Kristen untuk memahami teks-teks Bible. Encyclopaedia Britannica menyatakan dengan jelas bahwa tujuan utama hermeneutika adalah untuk mencari "nilai kebenaran Bible."

For both Jews and Christians throughout their histories, the primary purpose of hermeneutics, and of the exegetical methods employed in interpretation, has been to discover the truths and values of the Bible.

Mengapa dengan hermeneutika itu para teolog tersebut bertujuan mencari nilai kebenaran Bible? Jawabannya adalah karena mereka memiliki sejumlah masalah dengan teks-teks kitab suci mereka. Mereka mempertanyakan apakah secara harfiah Bible itu bisa dianggap Kalam Tuhan atau perkataan manusia. Aliran yang meyakini bahwa lafaz Bible itu Kalam Tuhan mendapat kritikan keras dan dianggap ekstrim dalam memahami Bible. Encyclopaedia Britannica menyatakan lagi:

Literal interpretation asserts that a biblical text is to be interpreted according to the "plain meaning" conveyed by its grammatical construction and historical context. The literal meaning is held to correspond to the intention of the authors. This type of hermeneutics is often, but not necessarily, associated with belief in the verbal inspiration of the Bible, according to which the individual words of the divine message were divinely chosen. Extreme forms of this view are criticized on the ground that they do not account adequately for the evident individuality of style and vocabulary found in the various biblical authors.

Perhatikan frasa terakhir yang berbunyi "individuality of style and vocabulary found in the various biblical authors" (gaya dan kosakata masing-masing yang ditemukan pada berbagai pengarang mengenai Bible). Adanya perbedaan pengarang itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan Kalam Tuhan (the Word of God) secara harfiah (literal). Oleh sebab itu para teolog Kristen memerlukan hermeneutika untuk memahami Kalam Tuhan yang sebenarnya. Mereka hampir sepakat bahwa Bible secara harfiahnya bukan Kalam Tuhan. Oleh sebab itu mereka merasa perlu untuk membaca Bible "between the line" demi memahami firman Tuhan yang sebenarnya. Disinilah peranan hermeneutika dalam membantu memahami Bible bagi para teolog Kristen.

Keadaan itu berbeda dengan kaum Muslimin, yang bisa memahami Kalam Tuhan dari al- Qur'an baik "on the line" atau pun "between the line." Kaum Muslimin sepakat bahwa al- Qur'an itu adalah Kalam Allah yang ditanzilkan kepada Rasulullah Muhammad (s.a.w.). Kaum Muslimin juga sepakat bahwa secara harfiah al-Qur'an itu dari Allah. Juga, kaum Muslimin sepakat, membaca al-Qur'an secara harfiah adalah ibadah dan diberi pahala; menolak bacaan harfiahnya adalah kesalahan; membacanya secara harfiah dalam salat adalah syarat, dan memahami al-Qur'an secara harfiah juga dibenarkan, sementara terjemahan harfiah dan alihbahasanya tidak dikatakan sebagai al-Qur'an. Ibnu Abbas misalnya pernah menyatakan bahwa diantara pemahaman al-Qur'an itu adalah sejenis tafsir yang semua orang dapat memahaminya (la ya'dziru ahad fi fahmihi). Pemahaman yang seperti ini sudah tentu merujuk pada pemahaman lafaz harfiahnya. Oleh sebab itu kaum Muslimin, berbeda dengan Yahudi dan Kristen, tidak pernah merasa bermasalah dengan lafaz-lafaz harfiah al-Qur'an.

Perbedaan selanjutnya adalah, bahwa Bible kini ditulis dan dibaca bukan lagi dengan bahasa asalnya. Bahasa asal Bible adalah Hebrew untuk Perjanjian Lama, Greek untuk Perjanjian Baru, dan Nabi Isa sendiri berbicara dengan bahasa Aramaic. Bible ini kemudian diterjemahkan keseluruhannya dalam bahasa Latin, lantas ke bahasa-bahasa Eropah yang lain seperti Jerman, Inggris, Perancis dan lain-lain, termasuklah bahasa Indonesia yang banyak mengambil dari Bible bahasa Inggris. Teks-teks Hebrew Bible pula mempunyai masalah dengan isu originality, sepertimana dinyatakan oleh seorang pengkaji sejarah Bible:

The Hebrew text now in our possession has one special peculiarity: notwithstanding its considerable age, it comes to us in relatively late manuscripts which are therefore far removed in time from the originals (sometimes by more than a thausand years). . . .none of these manuscripts is earlier than the ninth century C.E.

Begitu juga Kitab Perjanjian Baru, mempunyai masalah yang sama dengan Kitab Perjanjian Lama:

The New Testament scriptures also reflect similar problems as those of the Hebrew Bible. These scriptures, particularly the gospels, were written after the period of Jesus, in the Greek language, that he most probably did not speak. Moreover, it is acknowledged by prominent Christian authorities that the purpose of the gospel writers was not to write objective history but for evangelical purpose, which in part led to the profusion of allegorical commentaries.

Mengenai bahasa Hebrew Bible pula, karena tidak ada seorangpun kini yang native dalam bahasa Hebrew kuno, maka untuk memahami bahasa Hebrew Bible itu para teolog Yahudi dan Kristen memerlukan bantuan bahasa yang serumpun dengan Hebrew (Semitic languages). Dan bahasa yang dapat memberikan harapan untuk dapat mengungkap bahasa Hebrew kuno itu tidak lain adalah bahasa Arab, karena bahasa Arab masih hidup hingga ke hari ini.

. . . the search for the 'original Semitic language' was on. . . and Arabic with its 'primitive' inflections soon became the firm favourite as the primary witness to what that original language must have looked like.

Kita tahu bahwa bahasa Arab itu hidup karena pengaruh yang dihidupkan oleh al-Qur'an itu sendiri. Jadi al-Qur'an lah yang menyelamatkan bahasa Arab, sedangkan dalam kasus Bible, mereka mesti menyelamatkan dahulu bahasa Hebrew sebelum dapat menyelamatkan Bible. Oleh sebab itu dengan ketiadaan bahasa asal Bible pada hari ini, maka wajarlah kalau para teolog Yahudi dan Kristen mencari jalan dan metodologi untuk memahami kembali Bible melalui hermeneutika. Dalam hal ini hermeneutika kemungkinannya dapat membantu suatu karya terjemahan, lebih-lebih lagi apabila bahasa asalnya sudah tidak ditemukan lagi. Schleiermacher sendiri dikait-kaitkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa diantara tugas hermeneutika itu adalah untuk memahami teks "sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri," atau "to understand the author better than he understood himself." Maka wajarlah apabila Bible yang dikarang oleh banyak orang itu memerlukan hermeneutika untuk memahaminya dengan cara yang lebih baik dari para pengarang Bible itu sendiri.

Adapun al-Qur'an, bagaimana mungkin terfikir oleh kaum Muslimin bahwa mereka dapat memahami al-Qur'an lebih baik dari Allah s.w.t. atau Rasulullah s.a.w.? Oleh sebab itu, dalam upaya pemahaman yang lebih mendalam mengenai al-Qur'an, kaum Muslimin sebenarnya hanya memerlukan tafsir, dan bukan hermeneutika, karena mereka telah menerima kebenaran harfiah al-Qur'an sebagai Kalam Allah. Kalau diperlukan pemahaman yang lebih mendalam lagi, contohnya untuk ayat-ayat yang mutasyabihat, yang diperlukan adalah ta'wil. Perlu ditegaskan bahwa dalam tradisi Islam, ta'wil juga tidak sama dengan hermeneutika, karena ta'wil mestilah berdasarkan dan tidak bertentangan dengan tafsir, dan tafsir berdiri di atas lafaz harfiah al-Qur'an. Jadi sebagai suatu istilah, ta'wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir.

Al-Jurjani (w. 816/1413), misalnya, dalam kamus istilahnya yang terkenal, Kitab al-Ta'rifat, menyatakan hubungan makna tafsir dan ta'wil sebagai berikut:

Ta'wil secara asalnya bermakna kembali. Namun secara syara' ia bekmakna memalingkan lafaz dari maknanya yang zahir kepada makna yang mungkin terkandung di dalamnya, apabila makna yang mungkin itu sesuai dengan [semangat] Kitab dan Sunnah. Contohnya seperti firman Allah "Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati" (al-Anbiya': 95), apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan burung dari telur, maka itulah tafsir. Tetapi apabila yang dimaksudkan disitu adalah mengeluarkan orang beriman dari orang kafir, atau orang berilmu dari orang yang bodoh, maka itulah ta'wil.

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa ta'wil itu lebih dalam dari tafsir, dan tafsir itu berdasarkan kepada makna zahir lafaz harfiah ayat-ayat al-Qur'an. Walaupun ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai makna tafsir dan ta'wil, namun mereka tidak pernah mempersoalkan teks al-Qur'an sebagai Kalam Allah. Tegasnya, "textual criticism" untuk al-Qur'an tidak ada dalam tradisi Islam. Oleh sebab itu, dalam hal ini, tetap tidak bisa disamakan antara tafsir ataupun ta'wil dengan hermeneutika yang berangkat dari "textual criticism" pada Bible. Sebuah buku Hermeneutika terbitan Kanisius Yogyakarta, misalnya, sempat menyamakan al-Qur'an dengan Bible dan kitab agama yang lain, dan menyatakan bahwa tafsir sama dengan hermeneutika. Penulis buku tersebut mengatakan:

Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeneutik adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi Ilahi seperti al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda, dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutik.

Pendapatnya yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah "karya yang mendapat inspirasi Ilahi" seperti juga Bible, jelas tidak dapat diterima oleh kaum Muslimin. Orang-orang Islam tidak pernah memahami bahwa al-Qur'an itu sebuah "karya" sehingga memerlukan hermeneutika untuk memahami karya tersebut. Sebaliknya, pemikiran itu datang dari kaum Orientalis yang mengecoh kaum Muslimin agar menganggap bahwa al-Qur'an itu karya Muhammad dan menyatakan bahwa Islam juga agama buatan Muhammad alias Muhammadanism. Padahal orang-orang Kristen sendiripun, yang masih mempunyai masalah dengan teks-teks Bible, tidak pernah mengatakan bahwa Injil itu karya Nabi Isa.

Jadi, tradisi tafsir dalam Islam tidak sama dengan tradisi hermeneutika dalam Kristen. Seorang sarjana Muslim terkemuka, Syed Muhammad Naquib al-Attas, secara jelas menyatakan perbedaan antara tafsir dan hermeneutika:

Indeed, it was because of the scientific nature of the structure of the language that the first science among the Muslims - the science of exegesis and commentary (tafsir) became possible and actualized; and the kind of exegesis and commentary not quite identical with Greek hermeneutics, nor indeed with the hermeneutics of the Christians, nor with any 'science' of interpretation of sacred scripture of any other culture and religion.

Singkatnya, hermeneutika yang digunakan dalam teologi Kristen itu mempunyai latar belakang yang tersendiri yang berbeda dengan tafsir dalam tradisi Islam. Boleh jadi penemuan-penemuan melalui hermeneutika Bible itu nantinya akan lebih menunjukkan lagi kebenaran al-Qur'an. Sehingga apa yang hilang pada Bible dapat ditemukan dalam al-Qur'an.

Kembali kepada makna istilah hermeneutika, seperti yang dinyatakan sebelum ini, perpindahan makna hermeneutika dari ruang lingkup teologi kepada ruang lingkup filsafat dibidani oleh filosof berbangsa Jerman, Friedrich Schleiermacher. Filosof yang berfahaman Protestan ini dianggap sebagai pendiri 'hermeneutika umum' yang dapat diaplikasikan kepada semua bidang kajian. Namun, seperti dinyatakan oleh Aref Nayed, perpindahan hermeneutika dari teologi ke filsafat itu pun tidak terlepas dari motif teologi Kristen yang dianut oleh Schleiemacher. "He founded general hermeneutics for theological reasons." Schleiermacher yang Protestan sudah tentu tidak setuju dengan interpretasi-interpretasi Katolik terhadap Bible yang didominasi oleh Gereja dan lembaga kepausannya. Baginya interpretasi Protestan terhadap Bible itu lebih mendekati ajaran Nabi Isa yang sebenarnya.

The theological concerns that made Schleiermacher undertake the project of general hermeneutics are made very clear in his: Brief Outline of the Study of Theology. . . .In his work, General Hermeneutics is supposed to supply the basis for a biblical hermeneutics that would make knowledge of primitive Christianity possible, and vindicate Protestant claims to being more faithful to the original teachings of Christ.

Sudah tentu ketika teks-teks Bible menjadi masalah, maka interpretasi-nya pun akan lebih bermasalah. Tidak mengherankan dalam hal ini jika Werner G. Jeanroad pernah berbicara mengenai "krisis interpretasi Bible" dan berharap bahwa hermeneutika dapat memberikan andil dalam mengatasinya. Dia katakan:

Hermeneutics, the study of proper means of text-interpretation, is not the cause of the current biblical studies, rather it may point indirectly to some ways out of this crisis.

Apabila kemudian hermeneutika menjadi subjek filsafat, maka lahirlah berbagai macam aliran pemikiran. Walaupun Schleiermacher (1768-1834) merupakan sarjana pertama yang membawa hermeneutika dari tataran teologi ke tataran filsafat, namun hermeneutika Schleiermacher pada akhirnya hanyalah menjadi salah satu aliran hermeneutics yang ada. Disana ada Hermeneutics of Betti yang digagaskan oleh Emilio Betti (1890-1968) seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; ada Hermeneutics of Hirsch yang digagaskan oleh Eric D. Hirsch (1928- ) seorang pengkritik sastra berbangsa Amerika; ada Hermeneutics of Gadamer yang digagaskan oleh Hans-Georg Gadamer (1900- ) seorang ahli filsafat dan bahasa, dan ada lagi aliran-aliran hermeneutika yang lain seperti aliran Dilthey (m. 1911), Heidegger (m. 1976), dan lain-lain.

Jika hermeneutika-hermeneutika itu ingin diterapkan untuk kajian al-Qur'an, hermeneutika yang mana yang ingin diambil? Lalu, mengapa hanya mengambil hermeneutika tertentu dan menolak yang lain? Kemudian, apa jaminannya hermeneutika yang diambil itu betul-betul menunjukkan pengertian yang sebenarnya mengenai al-Qur'an? Bukankah apabila mengambil hermeneutika tertentu, berarti itu pun sudah masuk dalam "school of thought" tertentu? Kalau begitu dimana objektifitasnya? Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang lain.

Ambil contoh Fazlur Rahman. Dia lebih setuju kepada hermeneutika Betti ketimbang hermeneutika Gadamer. Namun dia juga tidak setuju dengan Betti yang mengatakan bahwa makna asli suatu teks itu terletak pada akal pengarang teks. Bagi Rahman, makna asli teks itu terletak pada konteks sejarah ketika teks itu ditulis. Kalau begitu, apa pula pendapat Fazlur Rahman mengenai kesimpulan filsafat hermeneutika yang mengesahkan adanya satu problem besar yang disebut "hermeneutic circle", yaitu sejenis lingkaran setan pemahaman objek-objek sejarah yang mengatakan bahwa "jika interpretasi itu sendiri juga berdasarkan interpretasi, maka lingkaran interpretasi itu tidak dapat dielakkan." Akibatnya adalah pemahaman seseorang tentang teks-teks dan kasus-kasus sejarah yang tidak akan pernah sampai, karena apabila seseorang dapat memahami konteksnya, maka konteks sejarah itu pun adalah interpretasi juga. Apabila hal ini diterapkan untuk studi al-Qur'an, maka selama- lamanya al-Qur'an tidak akan pernah dapat dimengerti dan difahami.

Hermeneutic circle: The problem in the process of interpretation that arise when one element, for instance in a text, can only be understood in terms of the meanings of others or of the whole text, yet understanding these other elements, or the whole text, in turn presupposes understanding of the original element. Each can only be understood in the light of the others. . . . . The phenomenon has preoccupied German thinkers from Schleiermacher and Dilthey through Heidegger and Gadamer.

Di dalam al-Qur'an ada ayat-ayat yang muhkamat, ada usul ajaran Islam, ada hal-hal yang bersifat tsawabit, semua ayatnya adalah , dan bahagian- bahagiannya ada yang menunjukkan qat'iyy al-dilalah, ada perkara-perkara yang termasuk dalam al-ma'lum min al-din bi al-darurah, ada sesuatu yang ijma' mengenai al-Qur'an, dan ada yang difahami sebagai al-Qur'an yang disampaikan dengan jalan mutawatir, yang semuanya itu dapat difahami dan dimengerti oleh kaum Muslimin dengan derajat yakin bahwasannya itu adalah ajaran al-Qur'an yang dikehendaki oleh Allah. Apabila filsafat hermeneutika digunakan kepada al-Qur'an maka yang muhkamat akan menjadi mutasyabihat, yang usul menjadi furu', yang thawabit menjadi mutaghayyirat, yang qat'iyy menjadi zanniyy, yang ma'lum menjadi majhul, yang ijma' menjadi ikhtilaf, yang mutawatir menjadi ahad, dan yang yaqin akan menjadi zann, bahkan syakk. Alasannya sederhana saja, yaitu filsafat hermeneutika tidak membuat pengecualian terhadap hal-hal yang axiomatic di atas.

Dalam posisi yang lebih ekstrim, filsafat hermeneutika telah memasuki dataran epistemologis yang berakhir pada pemahaman sophist yang bertentangan dengan pandangan hidup Islam (Islamic weltanschauung). Filsafat hermeneutika berujung pada kesimpulan universal bahwa "all understanding is interpretation" dan karena interpretatsi itu tergantung kepada orangnya, maka hasil pemahaman (understanding, verstehen) itu pun menjadi subjektif. Dengan perkataan lain, tidak ada orang yang dapat memahami apa pun dengan secara objektif.

Aqidah al-Nasafi, misalnya, pada paragraf pertamanya menyatakan: haqa'iq al-asya' thabitatun wa al-'ilmu biha mutahhaqqiqun, khilafan li al-sufata'iyyah (semua hakikat segala perkara itu tsabit adanya, dan pengetahuan akan dia [adalah yang] sebenarnya, bersalahan dengan [pendapat] kaum sufasta'iyyah). Salah satu golongan sufasta'iyyah (sophist) itu adalah golongan 'indiyyah (epistemological subjectivist) yang menganut faham bahwa tidak ada kebenaran objektif dalam ilmu; semua ilmu adalah subjektif; dan kebenaran mengenai sesuatu hanyalah semata-mata pendapat seseorang. Apabila semua ini dikaitkan dengan kajian al-Qur'an, maka akibatnya tidak ada kaum Muslimin yang mempunyai pemahaman yang sama mengenai al-Qur'an, karena semua pemahaman itu tergantung pada interpretasi masing-masing. Tentu kaum Muslimin tidak bermaksud begitu apabila manafsir atau mena'wil al-Qur'an.

Surat al-Ikhlas dalam al-Qur'an, misalnya, dapat difahami dengan mudah oleh kaum Muslimin bahwa Allah itu Esa, Allah tidak beranak dan diperanakkan, dan tidak ada yang setanding dengan Dia. Walaupun terdapat perbedaan pendalaman pemahaman mengenai tauhid antara orang awam dan ulama, namun tidak ada seorang Muslim-pun yang mengatakan Allah itu satu di antara yang tiga atau tiga di antara yang satu. Seorang Muslim awam yang memahami keesaan Allah dengan "mathematical oneness" tidak keluar dari aqidah Islam yang benar, walaupun kurang halus pemahamannya. Untuk memperhalusnya, Muslim tidak perlu pada hermeneutika. Sebaliknya, konsep trinity itu memerlukan hermeneutika untuk memahaminya, karena pada tataran lafaz yang zahir sekalipun, trinity itu memang susah difahami.

Sebagai kesimpulan, hermeneutika itu berbeda dengan tafsir atau pun ta'wil dalam tradisi Islam. Hermeneutika tidak sesuai untuk kajian al-Qur'an, baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis, hermeneutika akan berakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang zahir dari al-Qur'an dan menganggapnya sebagai problematik. Diantara kesan hermeneutika teologis in adalah adanya keragu-raguan terhadap Mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, baik oleh Muslim Sunni ataupun Syi'ah, sebagai "textus receptus." Keinginan Muhammad Arkoun, misalnya, untuk men-"deconstruct" Mushaf Utsmani, adalah pengaruh dari hermeneutika teologis ini, selain dari pengaruh Jacques Derrida. Dalam artinya yang filosofis, hermeneutika akan mementahkan kembali akidah kaum Muslimin yang berpegang bahwa al-Qur'an adalah Kalam Allah. Pendapat almarhum Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah "both the Word of God and the word of Muhammad" adalah kesan dari hermeneutika filosofis ini. Semua itu tidak menguntungkan kaum Muslimin, dan hanya menurunkan derajat validitas al-Qur'an seolah- olah sama dengan kitab yang lain. Sebenarnya memang ada kemungkinannya orang Kristen semakin maju dengan hermeneutika, tetapi kaum Muslimin hampir pasti akan mundur ke belakang dengan hermeneutika itu. Sepertimana bahasa Arab telah menjadi standar bahasa Hebrew dan bahasa-bahasa Semit yang lain, maka al-Qur'an semestinya juga menjadi benchmark bagi kitab suci yang lain, karena al-Qur'an adalah kitab suci yang terakhir dan yang authentic di antara kitab-kitab yang lain. Dengan perkataan lain, kajian al-Qur'an, terutamanya mengenai penafsirannya, tidak memerlukan hermeneutika. Kita khawatir akhir- akhir ini kita begitu bergairah mengimpor istilah hermeneutika untuk kajian al-Qur'an tanpa menyelidiki dahulu latar belakang istilah itu sendiri yang mempunyai muatan pandangan hidup berlainan dengan pandangan hidup Islam. Sebenarnya jika akan digunakan bahasa asing juga, maka istilah exegesis atau pun commentary yang selama ini digunakan sudah cukup memadai untuk al-Qur'an. Kenapa kini exegesis atau commentary mesti ditukar dengan hermeneutics?

Saya akan mengakhiri makalah ini dengan satu peringatan dari Hadis Rasulullah s.a.w. yang berbunyi:

Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekali pun kamu akan mengikutinya juga. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya: "Apakah mereka [yang diikuti] itu kaum Yahudi dan Nasara?" Rasulullah menjawab: "Siapa lagi [kalau bukan mereka]." (H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)